1984, George Orwell

#Baca1984Bareng

Awal Juni 2020, saya ikutan “Baca 1984 Bareng” yang diadakan oleh Hestia Istiviani. Peminatnya cukup banyak (dirangkum di dalam direktori ini). Tiap peserta membaca buku 1984 (bebas versi apa saja) dan membagikan pengalaman bacanya dalam bentuk utas (thread) Twitter.

Pengalaman peserta yang berbeda-beda dirangkum dalam postingan ini. Ada beberapa kesamaan tema yang dirasakan oleh para peserta, tapi ada juga ada perbedaan perspektif yang baru kepikiran. Karena dibagikan lewat Twitter, kita bisa saling membaca di waktu yang berbeda (asynchronous). Jadinya beda dengan pengalaman berbagi di klub buku offline yang diskusinya dilakukan serentak.

Saya ikutan karena sudah lama banget mau baca 1984. Harapannya dengan ikut rombongan, semangat membacanya bisa lebih konsisten dan selesai membaca tepat waktu. Pada akhirnya sih saya tetap telat dalam membaca maupun membuat utasnya (keburu lewat bulan Juni), tapi setidaknya bukunya selesai dibaca. Biarpun telat ikutan beresin Baca Bareng buku ini, tapi isinya relevan banget dengan kehidupan modern yang lagi kita hadapi. Jadi kalau kalian belum baca buku ini, gak ada salahnya nih buat baca buku ini.

Sinopsis

Novel ini berlatar di sebuah negara fiktif bernama Oceania yang sangat otoriter. Segala hal di negara ini dikendalikan oleh partai penguasa. Biasanya di negara otoriter, perilaku yang bertentangan dengan pemerintah akan ditindak tegas. Di novel ini, bahkan yang pikiran berbeda dengan ketentuan partai penguasa pun akan ditindak oleh Polisi Pikiran (Thought Police). Lebih jauh dari itu, bahkan bahasa yang digunakan pun diatur. Persisnya diatur oleh Kementrian tempat tokoh utama novel ini bekerja: Ministry of Truth.

Di bagian pertama (novel ini terdiri dari tiga bagian), kita dikenalkan dengan karakter utama: Winston Smith, seorang juru tulis di Ministry of Truth. Pekerjaannya adalah “menulis ulang” peristiwa yang pernah terjadi agar pernyataan dari partai penguasa selalu konsisten. Tidak masalah apakah pernyataannya sesuai kenyataan atau tidak, selama itu yang diputuskan oleh penguasa, maka hal tersebutlah yang dianggap sebagai kebenaran. Dalam salah satu adegan di novel ini, jika partai penguasa mengatakan 2 + 2 = 5, maka yang benar adalah 2 + 2 = 5.

Di lubuk hatinya, Winston menentang doktrin yang ditetapkan oleh partai penguasa. Dia terus mencari sesama pemberontak yang konon tergabung dalam kelompok perlawanan bernama The Brotherhood. Suatu ketika dia mendapat surat dari Julia yang isinya pernyataan cinta, yang disambut oleh Winston. Di Oceania, ini adalah tindakan pemberontakan. Pertama, Winston adalah (semacam) PNS yang sudah menikah. Kedua, konsep “cinta” maupun “nafsu” adalah sesuatu yang tidak ada di Oceania. Mereka pun menjalani affair sebelum akhirnya digerebek.

Pada bagian terakhir, Winston menjalani siksaan sebagai hukuman atas pelanggaran yang telah dia lakukan. Siksaan ini bukan cuma berupa siksaan fisik, tapi juga pikiran. Awalnya Winston mengatakan meskipun dia ditangkap, tapi dia tidak akan mengkhianati cintanya pada Julia. Dia pun disiksa selama berbulan-bulan (tapi bahasa yang digunakan oleh petugas partai adalah “menyembuhkan kegilaan”), hingga akhirnya dia dibawa ke Room 101 dan dihadapkan pada hal yang paling ia takuti: tikus. Ketika menjalani siksaan di Room 101, dia bahkan meminta agar siksaan itu diberikan kepada Julia saja. Bukan cuma disiksa, pikirannya pun dicuci sehingga dia merasa yang dilakukan oleh partai penguasa itu benar dan sehingga dia jadinya mencintai Big Brother, figur fiktif yang merupakan representasi dari penguasa.

Sumber Lain

Ringkasan cerita 1984 dan pembahasannya ini sudah ada banyak sekali di internet, mengingat novel ini sudah diterbitkan sejak tahun 1948. Video yang cukup menarik misalnya dua yang di bawah ini:

Thug Notes: Nineteen Eighty-Four
Crash Course Literature: 1984

Setelah menonton dua video di atas, akan ada banyaaak sekali recommendation video di YouTube yang semuanya bagus-bagus.

Tiga Hal Yang Menarik Buat Saya

Novel ini adalah bacaan klasik yang sangat terkenal (bahkan masuk jadi rekomendasi buku di kantor saya bekerja – Zenius). Pembahasannya udah banyak banget ada di mana-mana, jadi saya pilih tiga hal yang saya rasa paling menarik:

Newspeak

Di salah satu bab, kita dikenalkan dengan seorang teman kantor Winston, namanya Syme. Dia seorang pakar linguistik yang membuat semacam “KBBI” (Kamus Besar Bahasa Ingsoc – nama partai penguasa di negeri Oceania hehe). Jadi di Oceania ini ceritanya yang namanya bahasa tuh benar-benar diatur banget definisinya oleh partai Ingsoc.

Setiap periode waktu tertentu, akan ada kamus versi terbaru yang makin lama kosakata dan definisinya makin dibatasi. Dengan membatasi penggunaan bahasa, kebebasan berekspresi juga ikut terbatasi. Semua kosakata yang bertentangan dengan ideologi partai dihapuskan di dalam kamus bahasa tersebut. Hal ini dilakukan untuk membatasi kebebasan berpikir sehingga meminimalisir orang untuk mengumpulkan massa dan menggulingkan pemerintah.

Ini menarik buat saya karena sebenarnya cukup sering kita mendengar istilah “Bahasa Indonesia yang baik dan benar“. Sebenarnya baik dan benar ini menurut siapa? Di Indonesia, kita juga mengacu ke KBBI supaya definisi yang kita gunakan seragam. Apakah ketika Indonesia dikuasai secara otoriter, sebenarnya hal yang sama sedang terjadi terhadpa kita?

Beberapa kali juga saya lihat debat di internet (Twitter, misalnya) yang berkutat di definisi. Seolah kalau mengacu pada definisi di kamus, maka itu dianggap rasional dan otomatis argumennya lebih kuat. Padahal yang namanya bahasa itu tumbuh dan berkembang definisinya bersama masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut. Jadi nggak bisa juga kalau kita maksain banget semua orang harus mengikuti pakem definisi yang kita gunakan.

Doublethink

Ini adalah bahasa propaganda yang digunakan oleh Ingsoc di novel ini. Dua konsep yang bertentangan disampaikan sekaligus dalam satu kalimat, sehingga orang tidak dapat lagi membedakan benar dan salah. Bahkan salah satu pekerjaan Winston adalah “mengubah masa lalu”, agar semua realita selalu sesuai dengan pernyataan pemerintah. Misalkan pemerintah mengatakan bahwa kemarin hujan (padahal panas banget), maka Winston akan mengubah arsip berita kemarin agar isinya mengatakan hujan. Lama-lama masyarakat juga akan lupa dan semua bisa dikontrol.

Ini juga tercermin di nama-nama kementrian di Oceania. Ministry of Truth sebenarnya menyebarkan disinformasi (bukan kebenaran); Ministry of Love sebenarnya melakukan penyiksaan (bukan menyebar cinta); Ministry of Peace mengurusi perang (bukan perdamaian).

Ngomong-ngomong soal Newspeak dan Doublethink, inget ga sih di tengah pandemi ini kemarin pemerintah sibuk banget berkelit dengan definisi lockdown dan karantina, mudik dan pulang kampung, dst…

Two Minutes Hate

Tiap hari di Oceania ditayangkan film pendek berisi wajah “musuh negara”. Di novel ini “musuh negara” yang dimaksud adalah Emmanuel Goldstein (yang nggak jelas juga sebenarnya orangnya betulan ada atau fiktif). Rakyat yang menonton akan berpartisipasi dengan mengekspresikan kebencian ke tokoh yang ditayangkan di film tersebut. Tujuannya? Untuk mengalihkan energi kebencian masyarakat ke target tertentu, supaya mereka nggak marah sama partai penguasa.

Di jaman media sosial ini, seberapa miripkah dengan metode propaganda di atas dengan penggunaan buzzer? Rasanya ketika membuka Twitter atau Instagram, kita seperti sudah segera diarahkan berpikir seperti apa, merasakan apa, harus membenci siapa, dan seterusnya. Diperparah lagi dengan algoritma media sosial yang cenderung membentuk echo chamber. Nggak boleh banget kita berpikir beda dengan orang lain. Begitu menunjukkan perbedaan, kita akan diserang.

Ini paling kerasa banget pada saat pilpres (karena masing-masing pihak menggambarkan pihak lawan sebagai musuh yang negatiiiiif banget), sehingga jika kita tidak berpikir secara mandiri, kita akan mudah terpengaruh oleh opini publik. Ketika sudah terjadi konsolidasi politik, bentuknya berubah (karena yang tadinya bermusuhan jadi masuk ke dalam kubu yang sama), tetapi pengarahan opini ini masih ada.

Yang jelas setelah membaca novel ini, saya jadi berusaha untuk lebih kritis ketika mendengar pemberitaan negatif mengenai suatu tokoh. Apakah berita ini memang didukung oleh bukti yang nyata, atau ini merupakan upaya membangun kebencian agar menjadikan dia sebagai “musuh”? Pembahasan ini beberapa kali diangkat oleh kanal Remotivi, misalnya dalam video ini:

Rekomendasi

Judul “1984” ini digunakan George Orwell di tahun 1948 sebagai pesan agar jangan sampai masa depan menjadi seperti novel yang dia buat. Meski sekarang sudah lewat 36 tahun dari 1984, tapi buku ini tetap relevan untuk kita baca. Memang tidak salah buku ini dijadikan salah satu dari 100 buku yang wajib dibaca sebelum mati. Kalau ada kesempatan, bacalah buku ini 🙂

Tinggalkan komentar