
Kemarin, Malaysia menjadi pemenang AFF Cup 2010 setelah bertanding melawan Timnas Indonesia dan memperoleh agregat skor 4-2 (3-0 di Bukit Jalil Malaysia, dan 1-2 di Gelora Bung Karno Indonesia). Sesudah pertandingan, ketua PSSI Nurdin Halid berkata bahwa kekalahan ini sudah merupakan suatu Takdir Allah. Benarkah?
Sebelum membahas masalah Takdir ini, saya secara pribadi mengakui bahwa Timnas Malaysia bermain dengan sangat baik. Keren banget malah. Mereka memang layak jadi juaranya. Tapi kenapa Nurdin Halid sampai perlu mengatakan bahwa ini takdir? sebenarnya akan lebih elegan jika mengatakan bahwa ini adalah hasil kerja keras mereka (pemain Timnas Malaysia dan tim pelatih Rajagopal).
Anyways: Takdir. Dalam kata tersebut ada implikasi bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat diubah lagi, karena memang sudah pasti terjadi. Tapi konotasinya tentu lebih positif daripada kata ‘Nasib’. Jadi setidaknya saya bersyukur sedikit bahwa NH tidak mengatakan bahwa kekalahan ini merupakan ‘nasib’. Dalam bahasa Inggris, Takdir bisa menjadi Destiny atau Fate. Dilihat dari bobot katanya, nampaknya kedua kata tersebut tidak tepat untuk menggambarkan kejadian kemarin. Saya pernah ngobrol dengan seorang teman dan mendengarkan dia berbicara panjang lebar mengenai perbedaan Nasib/Takdir/Destiny/Fate. Panjang banget. Beneran.
Ada satu hal yang ada di pikiran saya: apakah terdapat suatu hubungan antara religiusitas dengan kepercayaan terhadap takdir? Yang jelas, budaya memainkan peran penting dalam hal ini. Di kebudayaan Bara, terutama di Amerika, percaya kepada nasib bukan merupakan suatu hal yang baik. Masihkah kalian ingat dengna kata pursuit of happiness dari Thomas Jefferson? Kebahagiaan itu harus dikejar, bukan ditunggu. Itu juga tercermin melalui jenis-jenis psikoterapi dan konseling yang marak di sana. Klien diajarkan untuk bisa berdiri sendiri secara mandiri dan benar-benar menjadi dirinya sendiri (lalu mencapai aktualisasi diri… sehingga ujung-ujungnya mencapai kebahagiaan).
Hal itu bertentangan dengan budaya Timur. Kepercayaan terhadap nasib/takdir dianggap sebagai suatu hal yang baik. Di kebudayaan Tiongkok, ada istilah “Kehendak Langit” (Heaven’s Will). Jika Langit berkehendak demikian, maka hal itu tidak bisa dihindari lagi. Perlu dicatat bahwa Langit tidak merujuk kepada sosok Tuhan dalam ajaran agama monotheisme seperti Kristen atau Islam. Di kebudayaan Jawa sendiri adalah istilah nrimo yang menjadi perhatian beberapa Indigenous Psychologist. Ini merupakan konsep lokal, secara sederhana nrimo dapat diartikan “Pasrah”, tapi ada makna filosofis yang lebih dalam daripada itu. Sebenarnya saya sendiri kurang memahaminya karena belum banyak mempelajari Filsafat/Psikologi Jawa.
Tapi saya tetap tidak bisa menerima ucapan NH bahwa kekalahan kemarin adalah TAKDIR. Nggak kok, kemarin itu bukan takdir!
Sumber: