Catatan Belajar – Pengantar Filsafat – Moralitas dan Pengetahuan

Menjelang akhir Desember, persidangan kasus pembunuhan Brigadir Yosua masih terus berlanjut. Yang dibahas saat ini bukan lagi siapa yang melakukan penembakan (karena baik korban maupun pelakunya sudah jelas), tetapi siapakah yang memiliki peran lebih besar di dalam kejadian tersebut.

Di sesi 26 Desember 2022, Romo Franz Magnis-Suseno dipanggil sebagai saksi ahli bagi Brigadir Eliezer, salah satu pelaku penembakan. Franz Magnis-Suseno adalah salah satu tokoh filsafat di Indonesia dan dalam persidangan ini dia diperkenalkan sebagai guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Selain membahas tentang filsafat moral, sebelumnya (terutama di masa pemerintahan Orde Baru) beliau sering memberikan ceramah mengenai Komunisme serta bahayanya (tapi sekarang sudah sangat jarang, mungkin karena komunisme juga sudah tidak populer).

Harian KOMPAS 26 Desember 2022

Kehadiran Romo Magnis ini buat saya merupakan sesuatu yang unik, karena tidak biasanya topik filsafat diangkat ke dalam persidangan. Ditambah lagi ini merupakan salah satu kasus yang paling menyita perhatian masyarakat Indonesia, mungkin lebih heboh daripada kasus kopi sianida karena kasus pembunuhan yang satu ini menyeret banyak sekali pihak di instansi kepolisian.

Lewat cuplikan 11 menit di atas, kita mendapatkan paparan dari Romo Magnis tentang moralitas. Ini masih cukup berkaitan dengan materi yang saya pelajari di Coursera, “Introduction to Philosophy” dari University of Edinburgh. Yang dibahas oleh Romo Magnis adalah Etika Terapan, namun yang saya pelajari masih di tahapan pengantarnya.

Lanjutan dari materi sebelumnya, yaitu “Apa Itu Filsafat?“, pada minggu ini materinya adalah tentang “kebenaran”, yang dibahas dalam dua tema: Moralitas dan Pengetahuan. Di bawah ini adalah catatan belajar saya tentang materi di minggu tersebut.

A. Moralitas

A1. Moralitas itu sifatnya apa: apakahObjective, Emotive, atau Relative?

Dalam sesi minggu ini, dijelaskan bahwa sebelum membahas mengenai apakah suatu hal itu “baik” atau “buruk”, ada baiknya kita mengenal tiga macam pandangan mengenai moralitas:

  1. Objectivism: Menurut pandangan ini, penilaian tentang moral adalah sesuatu yang jelas batasan benar salahnya, terlepas dari faktor budaya. Maksudnya, definisi atau batasan baik atau buruk itu setara dengan penilaian empirik sehingga bersifat objektif. Ada hal-hal di dunia ini yang dapat kita simpulkan sebagai suatu hal yang secara moral baik, karena memang secara objektif hal itu baik. Begitu pula sebaliknya.
  2. Relativism: Menurut pandangan ini, pandangan baik dan buruk itu sebenarnya relatif. Tiap orang atau budaya punya standar moral yang berbeda-beda. Apa yang buruk di suatu kebudayaan tertentu bisa jadi biasa saja atau malah baik di budaya yang lain.
  3. Emotivism: Menurut pandangan ini, moralitas bukanlah tentang “baik” atau “buruk”, “benar” atau “salah”, tapi sebenarnya hanya ekspresi dari emosi kita terhadap topik yang diangkat.

A2. Bantahan terhadap tiga pandangan di atas

  1. Objectivism: kalau ada kriteria objektif mengenai benar/salah/baik/buruk, bagaimana cara kita menentukannya? Apakah ada cara untuk benar-benar memastikan suatu pernyataan itu benar atau salah? Sebab kita memiliki pengetahuan yang terbatas dan dapat berubah seiring bertambahnya fakta-fakta baru.
  2. Relativism: kalau semuanya serba relatif, bagaimana kita bisa mengatakan ada “kemajuan” dalam hal moralitas? Misalnya, ada hal yang dulunya dianggap wajar yaitu perbudakan dan sekarang dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral.
  3. Emotivism: kalau semuanya hanya ekspresi dari emosi, kenyataannya kita bisa menggunakan nalar untuk tiba pada suatu kesimpulan mengenai baik/buruk. Jadi sepertinya ini bukan semata-mata merupakan ekspresi emosi saja.

Setelah membahas tentang perspektif moralitas, kita juga melihat bahwa semuanya bermuara dari pengetahuan yang kita miliki. Nah, filsafat juga membahas tentang apa yang dimaksud dengan pengetahuan serta kriteria apa yang bisa digunakan untuk menyimpulkan bahwa kita memiliki pengetahuan.

B. Pengetahuan (Epistemologi)

B1. Pengetahuan itu dasarnya apa?

“Informasi” tidak sama dengan “pengetahuan”. Ada informasi yang baik, ada yang buruk. Ada informasi yang berguna, ada yang tidak berguna. Ini sebabnya “pengetahuan” itu penting, sebab di dalam “pengetahuan” ada komponen kebenaran.

Di bab ini dijelaskan ada 2 macam pengetahuan:

  1. Propositional Knowledge: biasanya diucapkan dalam kalimat berita. Misalnya, “kucing itu duduk di kursi”.
  2. Ability Knowledge: “know-how”, misalnya “cara mengendarai sepeda”.

Ada beberapa landasan untuk menyatakan bahwa kita memiliki Propositional Knowledge:

  1. Yang kita ketahui memang merupakan yang sebenarnya. Jadi perlu ada kebenaran di dalam pengetahuan.
  2. Kita percaya dengan yang kita ketahui. Kecuali kita memang percaya, maka informasi yang kita miliki bukanlah pengetahuan.

“Tahu” dan “Benar”

Memperoleh pengetahuan adalah “mencapai kebenaran dengan cara yang tepat“. Oleh karena itu, pengetahuan akan kebenaran itu punya 2 sifat:

  1. Anti-luck: ketika kita benar, itu bukan kebetulan atau keberuntungan.
  2. Ability: pencapaian atas kebenaran itu diperoleh lewat kemampuan nalar kita.

B2. Pemahaman Klasik Tentang Pengetahuan & “Problematika Gettier”

Agar bisa mencapai “kebenaran”, kita perlu “justifikasi” kenapa kita “percaya” dengan pengetahuan yang kita miliki. Ini berawal dari Plato yang kemudian terus diikuti oleh filsuf penerusnya. Ketika kita “tahu”, maka ada 3 kondisi yang kita penuhi:

  1. Ada hal yang kita percayai
  2. Yang dipercayai itu benar
  3. Kita punya justifikasi atas kepercayaan tersebut (kita dapat memberikan penalaran yang baik atas kepercayaan tersebut”).

Problematika Gettier (Gettier Case)

Pada pertengahan tahun 1960, Edmund Gettier menerbitkan artikel yang mengatakan “knowledge cannot be merely justified true belief” (pengetahuan tidak bisa hanya berupa kepercayaan yang memiliki pembenaran”).

Kenapa?

Karena ada kemungkinan bahwa sebenarnya kebetulan saja (ada faktor keberuntungan) bahwa yang dipercayai itu benar.

Contoh:

Kita percaya bahwa saat ini jam 10. Kita melihat jam dan jamnya menunjukkan pukul 10. Oleh karena itu kita simpulkan bahwa kita tahu dan benar bahwa ini jam 10.

Tapi dalam kasus ini, sebenarnya jamnya mati dan jarumnya berhenti di jam 10. Hanya saja… KEBETULAN kita memang sedang melihatnya pada pukul 10.

Oleh karena itu, sebenarnya “justifikasi” pengetahuan kita mengenai waktu (sekarang jam 10) tidak didasari oleh hal yang tepat (jam menunjukkan pukul 10 bukanlah indikasi ini jam 10 karena jamnya mati).

Solusi atas Problematika Gettier

Contoh di atas bisa diganti dengan berbagai contoh lainnya. Ada berbagai hal yang kita anggap sebagai pengetahuan atau kebenaran, padahal sebenarnya hanya kebetulan. Bila contoh itu diganti, biasanya ada suatu formula yang sama, yaitu ada “lemma” (false assumption / asumsi yang salah).

Oleh karena itu, syarat pengetahuan ditambah 1 lagi:

  1. Tidak ada lemma atau false assumptions.

Dari berbagai contoh yang diberikan, kita bisa simpulkan beberapa hal:

  1. Pengetahuan itu bukan semata-mata kepercayaan yang ada pembenarannya. Kadang-kadang kepercayaan kita itu benar ya hanya karena faktor keberuntungan atau kebetulan saja. Kita tidak mencapai kebenaran lewat kebetulan.
  2. Tidak terlalu jelas apakah kita bisa menambah syarat apalagi atas benar atau tidaknya pengetahuan yang kita miliki
  3. Tidak terlalu jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengetahuan.

B3. Apakah sebenarnya kita punya pengetahuan?

Di kalangan filsuf, ada pemikiran “radical skepticism” yang memandang bahwa kita ini tidak benar-benar mengetahui apa yang kita pikir kita ketahui. Dalam bentuk ekstrimnya, “pengetahuan” sejati itu mustahil. Tokoh yang paling terkenal dalam aliran ini adalah Rene Descartes.

Kalau di jaman sekarang, kita bisa gunakan alur cerita film The Matrix untuk menjelaskan radical skepticism. Kita tidak pernah benar-benar tahu apakah realita yang kita hayati ini merupakan realita yang sebenarnya. Bisa saja semuanya itu adalah simulasi dari komputer. “Kita” yang sebenarnya ternyata cuma organ otak di dalam tabung yang dibuat seolah-olah sedang menghayati dunia nyata.

Pertanyaannya di sini adalah: dari mana kita tahu bahwa kita ini bukan “otak yang ada di dalam tabung yang distimulasi oleh komputer”? Jawaban atas pertanyaan ini cukup panjang sehingga tidak dibahas dalam sesi kuliah ini melainkan bisa dibaca sendiri dalam pemikiran Descartes. Ujungnya adalah kutipannya yang paling terkenal, “Cogito, Ergo Sum”.

Meskipun skeptisisme di atas seperti aneh, tapi pada dasarnya pemikiran ini meningkatkan standar kita atas apa yang dimaksud dengan pengetahuan. Semakin banyak landasan yang kita gunakan sebelum menerima suatu hal sebagai suatu pengetahuan, apalagi kebenaran sejati.

Ketika sudah melakukan hal ini, kita bisa mengalami epistemic vertigo: kita mulai merefleksikan sifat-sifat dari pengetahuan dan “naik tingkat” ke mode berpikir reflektif sehingga merenungkan “apa itu pengetahuan” dan “apa batas dari pengetahuan”. Mungkin disebut vertigo karena proses ini bisa membuat pusing 🙂

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s