Bulan Juni 2021 ini ada banyak aktivitas yang cukup padat, jadinya saya nggak sempat nonton terlalu banyak film atau seri di bulan ini. Pada saat tulisan ini dibuat, pandemi COVID-19 masih terus berlangsung dan jumlah kasus di Indonesia terus meningkat, bahkan di penghujung bulan jumlah penambahan kasusnya mencapai rekor baru. Kabar positifnya, saya mendapat kesempatan untuk membantu pelaksanaan Sentra Vaksinasi di kantor. Lumayan, inisiatif ini bisa membantu 400 orang (tidak hanya pegawai di kantor saya) mendapatkan vaksinasi dosis pertama.
Nah, ini film yang masih sempat saya tonton di bulan Juni kemarin:
The Butterfly Effect (2004)
Dulu pernah nonton film ini waktu SMA di DVD. Tentunya DVD bajakan yang harganya tidak sampai 15.000. Waktu nonton ini, ada beberapa adegan yang mikir “lah kenapa gak gini/gitu aja”. Tapi ya secara umum ini filmnya seru banget. Judul filmnya mengacu ke istilah the butterfly effect: satu perubahan kecil pada suatu sistem dapat mengakibatkan perubahan besar.
Sinopsis bebas spoilernya kurang lebih begini: Evan Treborn (Ashton Kutcher), yang sejak kecil sering mengalami hilang ingatan, ternyata bisa kembali ke masa lalu dengan membaca buku diarinya. Tiap kali dia kembali ke masa lalu dan melakukan hal yang berbeda (misalnya ketika dia masih anak-anak), hal tersebut berdampak besar terhadap masa depannya. Dia mencoba beberapa kali mengubah kondisi lingkungan terdekatnya dengan cara beberapa kali kembali ke kenangan masa kecilnya. Tapi makin sering dia berusaha mengubah masa lalu, selalu ada musibah yang tidak terduga di masa depan. Malah makin sering dia berusaha melakukan revisi, nasib yang ingin dia ubah malah menjadi semakin buruk.
Terkait dengan endingnya… sepertinya dalam cerita ini, cara yang terbaik untuk mengubah situasi adalah dengan cara merelakan dan menerima kenyataan bahwa hal yang hendak kita ubah bisa jadi menjadi lebih baik apabila kita melepaskan ego dan keinginan kita untuk mengontrol segalanya. Bisa jadi perubahan terbaik terjadi ketika kita tidak terlibat di dalamnya. Di versi yang saya tonton, ada hal-hal yang memang sudah ditentukan oleh takdir untuk tetap terjadi.
Super 8 (2011)
Awalnya saya milih film ini hanya karena muncul di rekomendasi Netflix dan lihat ada nama besar seperti J.J. Abrams + Stephen Spielberg. Ini film tentang anak-anak yang mau bikin film dengan jenis rol kamera super 8mm untuk sebuah kontes film. Film di dalam film ini bercerita tentang seorang detektif yang menyelidiki tentang kasus virus zombie. Di luar dugaan, ketika mereka sedang shooting, mereka nggak sengaja melihat rahasia pemerintah Amerika: ternyata alien itu ada, dan dia disekap oleh pemerintah. Alien ini kabur dan berusaha untuk mencari cara untuk pulang. Ini filmnya sci-fi, serius, tapi ada komedinya. Film ini juga mengangkat banyak topik, termasuk tentang hubungan ayah dan anak. Kalau dirasa-rasa, kayaknya gerombolan anak-anak yang jadi rombongan tokoh utamanya cukup mirip dengan premis seri The Stranger Things.
Norsemen, season 1-3 (2016-2017, 2020)
Saya tertarik nonton ini karena lagi seneng main Crusader Kings III sejak ada update Northern Lords. Awalnya saya pikir ini kayak komik Vinland Saga yang melibatkan tokoh Viking terkenal dan kurang lebih ada pelajaran sejarahnya. Tapi di sini yang diangkat adalah aktivitas orang-orang Viking di sebuah desa pada tahun 790. Jadi migrasi mereka ke tanah Inggris masih belum dimulai, tapi mereka sudah sering melakukan penjarahan ke sana. Opening shotnya dibuka dengan kembalinya kepala suku Olaf ke desanya, yang selama ini dikelola oleh adiknya, Orm. Berbeda dengan Olaf yang banyak mencerminkan stereotip Viking (suka perang, suka pesta, dll), Orm adalah seorang pasifis yang hobinya merajut.
Seri ini disebut seri komedi karena biarpun mereka hidup di era Viking, tapi karakternya berpikir seolah-olah seperti manusia abad modern. Kadang mereka membahas hal-hal yang masih belum diciptakan, atau kadang mengalami krisis eksistensial seperti orang yang hidup di masa depan. Di season 1, karena karakternya baru semua, sifat-sifat mereka yang unik terasa menarik. Tapi di season 2 sifat mereka makin dibuat menonjol sehingga terkadang terasa seperti karikatur atau parodi atas diri mereka sendiri. Season 3 kembali ke awal mula cerita, sehingga kita melihat sisi lain dari beberapa karakter yang sudah kita kenal di 2 season sebelumnya.
Ali & Ratu Ratu Queens (2021)
Saya dapat info tentang film ini dari Twitter karena ada beberapa akun yang mention filmnya. Tokoh utamanya adalah Ali, diperankan oleh Iqbaal Ramadhan, yang mencari ibunya. Sejak kecil ibunya meninggalkan Ali untuk mengejar mimpinya menjadi penyanyi di Amerika. Beberapa tahun berlalu, ayah Ali meninggal dan ia tinggal bersama keluarga ayahnya. Tapi Ali masih terus ingat akan ibunya dan ingin terus mencarinya.
Tema utamanya tentang seorang anak yang mencari “rumah”. Meskipun nampaknya Ali dititipkan di keluarga ayahnya yang hidup berkecukupan dan secara umum punya intensi yang baik terhadap Ali, Ali masih merasa dia harus mencari keluarganya. Tapi di film ini nggak terlalu banyak dijelasin kenapa Ali merasa tidak kerasan di keluarga besar tersebut dan bagaimana interaksinya dengan keluarga ayahnya ini. Ada sih adegan dia dengan sepupunya yang seorang YouTuber, tapi nggak terlalu dibahas lebih lanjut.
Aktingnya bagus dan mengharukan, musiknya bagus, audio filmnya juga oke, tapi kadang-kadang jalan ceritanya seperti masih agak bolong atau kurang masuk akal. Mungkin karena keterbatasan waktu juga. Cerita ibunya yang pergi ke Amerika (dan kemudian tidak pulang) terasa lebih masuk akal daripada cerita si Ali yang bisa langsung datang ke Amerika dan melakukan hal-hal yang terjadi di film ini. Tapi gak apa-apa. Sepertinya IP ini sudah disiapkan juga buat dibikin serialnya yang dapat membahas hal-hal yang belum dijelasin di filmnya. “Ratu-ratu Queens” di judul film ini mengacu ke sejumlah wanita asal Indonesia yang tinggal di Queens; mereka membuka restoran, tapi sampai akhir cerita restorannya belum mulai buka. Sepertinya ini yang akan dijadikan salah satu premis atau setting utama jika sampai jadi serial TV-nya.
Mercury Rising (1998)
Menonton film action di periode yang berbeda terkadang memberi penjelasan juga apa yang sebenarnya sedang dikhawatirkan oleh masyarakat. Beberapa waktu yang lalu hampir semua musuh di film Hollywood adalah teroris muslim, tapi beberapa dekade sebelumnya musuhnya hampir selalu orang Rusia, dan seterusnya. Di film ini, yang jadi lawannya adalah NSA – mungkin kalau di Indonesia semacam BIN atau lembaga intel lainnya. Ketika sebuah kode rahasia bocor dan diketahui oleh seorang anak pengidap autism, seorang agen FBI (Bruce Willis) harus melindungi dia dari upaya agen NSA (Alec Baldwin).
Tema utamanya adalah tentang konspirasi bahwa ada lembaga pemerintah yang bertindak di luar hukum dan melukai warganya sendiri. Konsepnya sih menarik, tapi filmnya ga terlalu bagus. Tidak ada penjelasan sama sekali bagaimana logikanya sebuah kode rahasia yang diciptakan oleh mesin tercanggih pada jaman itu bisa dipecahkan oleh seorang anak pengidap autism.
Yang jadi musuhnya kurang agresif ke tokoh utamanya, dari awal sampai akhir saya agak ngantuk dengan adegan action-nya. Soalnya Bruce Willisnya nggak luka sama sekali, bahkan ketika dia lengah dan harusnya bisa langsung mati. Sisi dramanya juga ga terlalu mengharukan. Ceritanya Bruce Willis ini ingin melindungi anak pengidap autism ini karena sebelumnya dia gagal melindungi anak lain yang terbunuh ketika dia sedang undercover. Tapi karakter kedua anak tersebut sama sekali tidak mirip sehingga nggak masuk aja rasanya kenapa karakter Bruce Willis ini terdorong buat melindungi sampai sebegitunya.