Ten Lessons for a Post-Pandemic World, Fareed Zakaria

Tanggal 2 Februari 2021, Indonesia memiliki kasus aktif COVID-19 terbanyak di Asia, lebih banyak dari India. Total kasusnya sudah melebihi satu juta. Di seluruh dunia, total kasus COVID-19 sudah lebih dari seratus juta kasus. Angka ini masih akan terus bertambah, sebab kebanyakan negara belum berhasil melakukan penanganan pandemi secara efektif.

Karena COVID-19, perilaku keseharian kita berubah. Beberapa negara memberlakukan pembatasan mobilitas saat jumlah kasus COVID-19 meningkat. Istilah yang dipakai bisa berbeda-beda. Ada istilah circuit breaker, lockdown, movement control order, dan sebagainya. Di Indonesia, istilah yang paling terkenal selama 2020 adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Sekarang sudah ada lagi istilah baru: PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Regulasinya sedikit beda, namun esensinya masih sama: intinya adalah membatasi aktivitas masyarakat di ruang publik untuk mengurangi penyebaran virus.

Selama tahun 2020, saya pun mengalami perubahan yang signifikan akibat COVID-19. Mayoritas kegiatan kantor dilakukan secara jarak jauh (Work From Home), aktivitas jalan-jalan jadi sangat terbatas, dan saya juga sudah tidak pulang ke Bandung selama setahun. Perubahan ini saya mulai dari bulan Maret, 1 minggu sebelum pemberlakuan PSBB pertama di Jakarta. Puncaknya ada di akhir tahun, saya melakukan swab test antigen dan ternyata hasilnya positif. Cukup mengejutkan juga, sebab saya merasa sudah cukup berhati-hati dengan menjaga jarak, hampir selalu mengenakan masker, dan meminimalisir bertemu secara fisik dengan orang lain.

Dokter yang menangani saya memberi sejumlah resep obat yang katanya akan membantu menghambat perkembangan virus tersebut di tubuh saya. Dia juga menenangkan saya dan menjelaskan bahwa kebanyakan orang dengan demografi yang serupa dengan saya kemungkinan besar akan pulih dalam beberapa hari ke depan. Dia juga menanyakan apakah saya dapat melakukan isolasi mandir atau tidak. Karena masih memungkinkan, sepulang dari klinik saya langsung melakukan persiapan isolasi mandiri dan mengkonsumsi obat-obatan secara rutin.

Beberapa hari kemudian, saya mulai merasakan sejumlah simptom yang terkait dengan COVID-19. Rasanya badan jadi terasa sangat mudah lelah, terlebih jika sudah siang menuju sore hari. Gejala lainnya adalah linu. Simptom lain yang banyak dibahas di internet, misalnya anosmia (tidak bisa mencium bau) atau demam, kebetulan tidak muncul. Rupanya memang gejala yang timbul beda-beda untuk setiap orang.

Selama tahun 2019-2020 saya hampir tidak pernah sakit, tapi pada akhirnya saya harus bedrest selama lebih dari seminggu saat mengawali tahun 2021. Selain kondisi fisik yang menurun, rupanya kondisi psikis juga berpengaruh pada kesehatan. Saya sering “merasa” sulit untuk bernafas. Tapi ketika dicek dengan oximeter, angkanya normal.

Untungnya dulu tema tesis saya adalah psikoterapi dalam konteks psikologi kesehatan. Ada beberapa prinsip psikoterapi yang bisa saya terapkan ke diri saya sendiri agar saya tidak terperosok ke dalam pusaran pikiran negatif. Saya pun rutin minum obat sesuai jadwal, menghindari perilaku beresiko, dan beristirahat semaksimal mungkin. Saya belajar untuk beradaptasi dengan keadaan, sembari bersyukur bahwa saya masih mampu melakukan sebagian besar pekerjaan saya tanpa harus hadir secara fisik di kantor. Selain beradaptasi, saya juga mencatat hal-hal yang untuk seterusnya akan jadi kebiasaan baru dalam aktivitas kerja saya.

Nah, penulis buku ini, Fareed Zakaria, juga membagikan pembelajaran dari pandemi COVID-19. Persisnya ada 10 pembelajaran untuk membantu kita beradaptasi dengan dunia pasca-pandemi. Dia berpikir dalam skala global, bukan mikro dan personal seperti saya.

It may seem that our world is terribly fragile. It is not. Another way to read human history is to recognize just how tough we are. We have gone through extraordinary change at breathtaking pace. We have seen ice ages and plagues, world wars and revolutions, and yet we have survived and flourished.

Baik di level individu maupun spesies, saat melewati berbagai perubahan, kita tidak hanya sekadar “survive” tetapi juga bertumbuh. Kehadiran COVID-19 mengubah kondisi dunia. Virus ini juga mempercepat fenomena global yang sebelumnya sudah mulai berjalan, misalnya perkembangan teknologi, arah baru nasionalisme, kesenjangan sosial, perubahan peta globalisasi, dan sebagainya.

Buku ini membantu kita melihat peluang bagaimana mempersiapkan diri untuk dunia pasca-pandemi. Dia tidak membahas yang jangka pendek atau yang sudah lalu, misalnya apakah seharusnya negara melakukan lockdown atau tidak, apakah testing massal atau tidak, dan sebagainya. Yang dibahas adalah masa depan, sehingga isinya masih berupa spekulasi. Saat ini pandemi masih belum selesai. Vaksin masih dalam proses produksi, pembiayaannya masih jadi misteri bagi banyak negara, distribusinya pun menjadi tantangan tersendiri, belum lagi virusnya jua masih terus bermutasi. Namun cara penulis memaparkan narasi membuat saya cukup percaya dengan argumennya.

Siapakah Fareed Zakaria? Dia seorang host di CNN (Fareed Zakaria GPS), komentator politik, serta kolumnis di bebepapa media (Washington Post, Newsweek, Time). Meskipun sebagian kontennya membahas tentang dinamika politik di Amerika, namun dia juga banyak membahas fenomena di negara lain atau yang bersifat global. Tidak hanya di Amerika, dia juga membahas bagaimana peran pemerintah yang kompeten dapat membantu menghadirkan kesejahteraan dan rasa adil bagi masyarakat. Sebagaimana halnya tingkat pengangguran meningkat di Amerika, virus ini juga semakin mendorong terciptanya kesenjangan sosial di berbagai negara.

Sama halnya seperti pakar kesehatan di Amerika tidak terlalu didengarkan oleh masyarakat maupun pengambil kebijakan, fenomena yang sama juga terjadi di berbagai negara (termasuk di Indonesia!). Bagaimana caranya mengembangkan komunikasi yang saling menghargai antara peneliti dan masyarakat? Sebab pasca-pandemi, kerjasama antar dua pihak itu akan menentukan keselamatan kita semua.

Di masa depan, mungkin tahun 2020 akan dicatat sebagai era di mana jaman digital benar-benar dimulai. Meskipun sebelumnya internet sudah ada, namun di tahun inilah mayoritas aktivitas mulai dilakukan secara online, dan dunia fisik terasa jauh lebih terbatas. Meskipun pandemi COVID-19 sudah berlalu, namun kebiasaan beraktivitas di dunia digital yang masif ini tidak akan hilang. WFH serta distance learning akan menjadi hal yang lumrah.

Isu yang cukup mencekam Indonesia maupun Amerika, yaitu polarisasi (sangat terasa pada saat pilpres), nampaknya akan jadi fenomena global. Di panggung global, polarisasi terbesar tentunya adalah AS versus China. Konflik serupa dalam berbagai skala tidak dapat terhindarkan, namun kita bisa persiapkan diri agar lebih terbuka jalan untuk menemukan titik temu.

Ketika membaca pembelajaran yang dipaparkan oleh penulis, saya merasa sepertinya masalah di dunia ini banyak dan parah sekali. Tapi jika kita bisa mempersiapkan diri dan berhasil mengatasi masalah ini, umat manusia akan bertumbuh jauh lebih baik. Ada optimisme yang bercampur dengan pesimisme yang cukup berimbang. Ada rasa yakin yang bercampur dengan ragu. Semoga dunia ini lebih digerakkan oleh upaya positif, dibandingkan yang negatif.

Untuk referensi lain, buku ini diulas juga di kolom Buku Harian Kompas. Saya merasa Ten Lesson for a Post-Pandemic World ini dapat digunakan oleh mahasiswa Hubungan Internasional untuk mendapat big picture tentang kondisi dunia saat pandemi dan pasca-pandemi. Selain itu, penyusun kebijakan publik juga perlu membaca buku ini. Pembaca awam juga dapat menikmati isinya, karena dipaparkan dengan runtut dan terdapat penjelasan mengenai konteks peristiwa yang telah terjadi sebelumnya. Sungguh bacaan yang tepat untuk memperingati setahun COVID-19 di negara kita.

Iklan

8 tanggapan untuk “Ten Lessons for a Post-Pandemic World, Fareed Zakaria

  1. Agoes….semoga sekarang kondisinya sudah jauh membaik yaaaa!!
    stay safe and sane di Jakarta.
    Semoga bisa segera kembali ke Bandung dan bertemu keluarga

      1. Kalau jadwal piket sih nggak ada, tapi kadang ada beberapa pekerjaan yang mau gak mau perlu WFO. Hal yang sama berlaku buat tim lain juga, sifatnya voluntary basis aja.

  2. Diem-diem aja taunya sakit. Untung sudah baikan. Terus sehat ya, Gus! Anw, gw jadi tertarik tuh sama teknik psikoterapi. Gw tinggal di daerah rawan juga nih di Jakpus, dan gw pikir semawas apapun pasti ada aja titik celahnya untuk tertular. Pengen prepare.

    1. Thanks Hani. Kalau mau belajar psikoterapi bareng ayok kapan-kapan kita bikin sesi sharing terapi kognitif yang simpel, audiensnya dikitan dulu aja lumayan buat diterapin ke diri masing-masing.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s