The Silent Patient, Alex Michaelides

He that has eyes to see and ears to hear may convince himself that no mortal can keep a secret. If his lips are silent, he chatters with his fingertips; betrayal oozes out of him at every pore.”

Sigmund Freud, Introductory Lectures on Psychoanalysis

Di bangku kuliah S1 Psikologi, saya menjalani mata kuliah Psikologi Kepribadian I sebanyak 3 SKS. Saya belajar ada tiga mazhab besar dalam sejarah ilmu psikologi di abad 20: Psikoanalisis, Behaviorisme, dan Humanistik. Setiap mazhab ini punya premis dasar yang berbeda, dan pengelompokkan ini ditujukan untuk membantu mahasiswa memahami persamaan dan perbedaan teori-teori tokoh psikologi yang sangat banyak.

Kutipan di atas berasal tokoh mazhab Psikoanalisis, Sigmund Freud. Dalam perspektif Psikoanalisis, perilaku manusia tidak semata-mata diperoleh dari apa yang ia pelajari secara sadar, namun juga turut dipengaruhi oleh dorongan-dorongan yang tidak ia sadari. Alam bawah sadar ini berasal pengalaman masa lalu kita, sehingga seseorang yang takut akan gelas, misalnya, bukan takut karena pernah mengalami pengalaman buruk dengan gelas (tertimpa gelas), namun karena gelas itu melambangkan suatu makna tertentu di alam bawah sadarnya.

Dalam perspektif Psikoanalisis, hal-hal yang kita ekspresikan adalah representasi simbolik dari alam bawah sadar kita, termasuk mimpi, salah bicara (“Freudian Slip”), atau perilaku-perilaku lainnya. Itulah maksud Freud bahwa meskipun mulut kita terkatup, namun jemari kita tetap “berbicara”, mungkin lewat ketukan jari atau getaran garis yang timbul ketika kita menulis. Setiap ekspresi diri kita (maupun non-ekspresi) melambangkan apa yang ada dalam jiwa kita. Tidak ada yang rahasia, itulah sebabnya seorang psikoanalis yang terlatih dapat menggali penyebab gangguan psikologis lewat proses psikoterapi dan teknik asosiasi bebas dalam pendekatan psikoanalisa.

Premis di atas menjadi konsep yang digunakan dalam pendekatan psikologi di novel ini. Novel ini dibuka dengan sebuah kasus pembunuhan yang cukup sadis. Alicia Berenson, seorang pelukis terkenal, membunuh Gabriel, suaminya yang seorang fotografer terkenal. Sejak kejadian itu, Alicia tidak pernah membuka mulutnya lagi. Dia membisu, menjadi seorang silent patient yang dimaksud dalam judul buku ini.

Theo Faber, seorang psikoterapis forensik, ingin sekali menangani Alicia sebagai pasiennya. Dengan berbagai cara, dia berusaha untuk mendapatkan akses ke Alicia agar dapat memecahkan kebisuannya. Kerangka pikir yang digunakan Theo ini banyak mengacu kepada kerangka pikir psikoanalisis yang saya paparkan di atas. Bahkan salah satu adegan “pembunuhan” yang ada di bagian belakang novel ini memiliki muatan simbolik yang sangat kuat.

Saya merasa bahwa novel ini bukan representasi yang baik mengenai profesi psikoterapis. Novel ini juga menggambarkan gangguan mental dengan buruk, karakter-karakter yang tinggal di unit forensik RSJ tersebut tidak terlalu digambarkan dengan simpatik. Banyak perilaku abusive yang ada dalam novel ini dan membuat orang semakin sulit memahami apa sih yang membuat seseorang dapat mengalami masalah mental.

Selain itu, saya juga tidak terlalu paham bagaimana bisa Theo Faber ini lulus menjadi seorang psikoterapis, terlebih lagi bisa mendekati kasus yang high profile seperti Alicia. Tindakan-tindakannya yang membuat saya berpikir seharusnya dia tidak memahami kode etik psikologi. Meskipun ada intensi dari penulisnya untuk menggambarkan kekurangan dari Theo (yang berkaitan dengan plot twist di akhir), namun saya jadi merasa penggambaran karakternya kurang realistis.

Ada plot twist menarik yang memang sudah selayaknya ada dalam novel psychological thriller seperti ini. Masih cukup bisa ditebak, tapi novelnya tetap menyenangkan untuk diikuti hingga tuntas. Dari saya pribadi sih merasa mungkin agak terlalu tinggi hype-nya karena novel ini memenangkan Goodreads Choice Awards 2019.

Penggunaan mitos Yunani sebagai latar cerita di balik cerita juga cukup seru, karena kita diajak untuk melihat perbandingan paralel antara dua kisah yang berjalan bersamaan. Perbandingan keduanya membuat tragedi dalam cerita utama terasa lebih greget. Kisah yang diangkat juga masih baru buat saya, bukan mitos Yunani yang sudah umum dan populer.

Sebagai bacaan di akhir pekan, novel ini sangat seru untuk dibaca dan memang sulit untuk berhenti. Karena yang dibahas adalah isi hati dan jiwa seseorang, kita dibuat untuk terus penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Iklan

4 tanggapan untuk “The Silent Patient, Alex Michaelides

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s