Saat masih jadi mahasiswa di Bandung, bayangan saya tentang Jakarta adalah tempat yang serba maju, canggih, dan futuristik. Maju kotanya, bahagia warganya — wow, seperti slogan kampanye. Pokoknya lebih modern dari kehidupan yang saya jalani pada saat itu. Suatu bayangan timbul diakibatkan oleh suatu sumber cahaya. Begitu pula bayang-bayang Jakarta dalam kepala saya berasal dari “cahaya” yang ada di dalam kepala saya, yaitu informasi dan konsep ideal tentang kota yang modern.
Bila kita lanjutkan analogi cahaya dan bayangan tadi, saat terdapat lebih dari satu sumber cahaya, maka akan timbul bayang-bayang yang lain. Bayang-bayang ini mungkin beda tampilannya dibandingkan bayang-bayang sebelumnya, karena posisi sumber cahayanya bisa jadi berbeda. Makin banyak cahaya yang terpancar, maka harusnya kita juga dapat melihat wujud asli benda yang disorot itu dengan lebih jelas (tapi terlalu banyak cahaya juga membuat kita silau dan tidak bisa melihat apa-apa). Membaca buku ini ibarat memberikan cahaya tambahan dan memberikan bayangan yang baru mengenai Jakarta.
Premisnya: seorang antropolog dari Belanda datang ke kawasan kumuh dan padat di kota Jakarta untuk mempelajari perilaku masyarakat ketika mengalami banjir. Setelah berusaha mencari tempat riset (dan beberapa kali menemui jalan buntu), dia bertemu seorang pemuda yang menawarinya untuk pergi ke “tempat terbaik di dunia”. Di tempat itu kamu bisa melakukan apa saja dan apa pun yang ingin kita miliki, ada di sana. Tempat itu adalah salah satu kampung terkumuh dan termiskin di Jakarta.
Roanne van Voorst, penulis buku ini, tinggal bersama masyarakat kampung tersebut selama lebih dari setahun. Dia terlibat dalam aktivitas keseharian mereka sebagai bagian dari penghuni kampung hingga dia memiliki data yang cukup untuk menyelesaikan disertasinya. Model penelitian seperti ini yang membuat bukunya jadi menarik, karena dia mengamati secara langsung kebiasaan masyarakat di sana. Dia tidak hanya sekadar menyebar survei atau memanggil responden (lalu kembali ke hotel). Karena dia terjun ke masyarakat, dia dapat lebih memahami persoalan yang dihadapi oleh penghuni Bantaran Kali, sekalipun dia adalah bule dari Belanda yang kehidupan di negara asalnya sangat berbeda dengan penghuni Bantaran Kali (ini disebut beberapa kali di dalam bukunya, terutama ketika dia membayangkan sedang latihan yoga).
Kita dikenalkan dengan sejumlah karakter penghuni kampung tersebut, yang dalam buku ini diberi nama “Bantaran Kali”. Nama penghuninya disamarkan, menjadi Tikus, Enin, Neneng, Pinter, dan seterusnya. Sebagai seorang antropolog, penulis juga memaparkan fenomena unik yang ia amati di kelompok masyarakat penghuni Bantaran Kali. Misalnya portofon (semacam HT/walkie talkie) bisa meningkatkan status sosial karena membuat seseorang bisa tahu kapan banjir akan tiba. Orang sampai rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit dan menunggui portofon itu seharian (sehingga tidak bekerja). Ada fenomena lain juga, misalnya masyarakat di sana yang tidak percaya dengan dokter maupun mitos-mitos mereka tentang seksualitas.
Penggalan kisah hidup karakter di Bantara Kali ini membuat kita lebih mengenal mereka sebagai manusia. Rasanya sangat berbeda dengan membaca berita tentang kemiskinan di Jakarta. Cerita yang unik ini memberikan informasi yang lebih utuh dibandingkan statistik yang ditayangkan dalam berbagai laporan dan analisis kemiskinan di Jakarta. Dalam kisah yang dipaparkan oleh penulis, mereka memiliki semangat, mereka punya cita-cita, dan mereka punya harapan dalam menjalani hidup yang keras.
Pada tahun 2015, “tempat terbaik di dunia” ini sudah tidak ada lagi. Pada saat itu, meskipun tidak dipaparkan dengan terbuka di dalam buku ini, gubernur Jakarta pada saat itu (Ahok) melakukan penggusuran terhadap kampung liar. Keberadaan kampung tersebut menjadi penyebab kebanjiran di kota Jakarta. Isu ini cukup menjadi bahasan panas yang yang banyak diulas selama kampanye pemilihan gubernur.
Pada penutup buku ini, Roanne kembali ke Jakarta untuk bertemu kembali dengan Tikus setelah Bantaran Kali digusur. Tidak ada lagi tempat fitness yang dibuat oleh Tikus, begitu pula bisnis bank milik Pinter sudah berhenti. Salon dan tempat pijat pun sudah tidak ada, karena semuanya hilang. Karena tidak ada yang menyuarakan kisah mereka, maka penulis pun bertekad menulis buku ini agar ada mengetahui bahwa pada suatu ketika, “tempat terbaik di dunia” ada di Bantaran Kali. Sungguh motivasi yang menarik.
Berhubung buku ini diterbitkan pada tahun 2018, saya sebenarnya masih penasaran: apa yang terjadi kepada mantan penghuni Bantaran Kali sekarang? Mungkin kalau dilanjutkan ceritanya, akan ada salah satu tokohnya beraktivitas sebagai ojek online? Selain itu, karakter yang ditayangkan di sini sifat-sifatnya sangat positif (meskipun diceritakan juga tentang si Tikus yang meminta “uang keamanan” ke masyarakat sekitar). Apakah ada cerita-cerita lain yang belum disampaikan di buku ini?
bukunya menarik ya Agoes!! Melihat sisi lain dari Jakarta dan diceritakan dengan lebih humanis.
Iya, biarpun aslinya ditulis dalam bahasa Belanda, tapi terjemahannya juga enak dibaca.Masih terus penasaran dengan kelanjutan kisah hidup si Tikus.