Selama saya menjalani masa sekolah dan bekerja, mayoritas aktivitasnya didukung oleh teknologi yang diciptakan oleh Microsoft. Begitu menyalakan laptop, operating system-nya (OS) sudah Windows. Pertama kali rasanya saya pakai Windows 95, sekarang sudah menggunakan Windows 10.
Mau membuat dokumen tertulis, langsung buka Word. Waktu SD saya belajar mengetik menggunakan game simulasi Mario (Mario akan berjalan ketika kita menekan tombol yang tepat), tapi waktu SMP sudah diajarkan mengetik dengan Microsoft Word di kelas TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi).
Kalau diingat kembali pelajarannya dulu konyol juga. Satu kelas diberikan selembar kertas yang sudah difotokopi sebanyak murid di kelas (yang sudah jelas dokumen aslinya juga diketik pakai aplikasi Microsoft Word). Lalu, kita diberikan waktu selama 1-2 jam untuk menyalin dokumen tersebut lengkap dengan semua format tulisannya. Gurunya baru akan mengecek menjelang 15 menit terakhir di kelas, biasanya memberi masukan bagi siswa yang paling ketinggalan dibandingkan siswa yang lain. Ini diulangi sebanyak 3-4 pertemuan, kemudian kita pindah ke aplikasi Microsoft Office lainnya.
Untuk membuat spreadsheet, pakai aplikasi Excel. Membuat presentasi, pakai PowerPoint. Meskipun sekarang sudah ada banyak aplikasi alternatif yang dapat digunakan (ada yang versi gratis, atau ada juga yang lebih terbiasa menggunakan aplikasi serupa di OS lain misalnya milik Apple), namun nampaknya hampir semua orang pengguna komputer pernah menggunakan aplikasi buatan Microsoft. Kalau kita mengacu pada data di laman Wiki, Windows adalah penguasa market share di sektor operating system untuk desktop/laptop. Karena OS-nya sudah Windows, otomatis kemungkinan besar kita akan pakai software buatan mereka juga.
Dengan jumlah pengguna yang sangat banyak, ukuran perusahaan yang besar, serta lini produk yang beragam, seperti apakah orang yang berada di puncak tertinggi perusahaan tersebut? Sejak didirikan pada tahun 1975, Microsoft sudah memiliki 3 orang CEO. Satya Nadella adalah CEO Microsoft ke-3 setelah Bill Gates (yang juga pendirinya) dan Steve Ballmer. Lewat buku ini, kita diajak untuk berkenalan dengan Satya sebagai pribadi dan CEO yang memiliki perbedaan dibandingkan Bill Gates maupun Steve Ballmer. Fokusnya terhadap cloud computing turut membantu perkembangan Microsoft yang beberapa waktu sebelumnya sempat tertinggal dan dipersepsikan sebagai produk yang ketinggalan jaman.
Dalam buku ini, kita mengikuti perjalanan Satya, mulai dari masa kecilnya di India, awal mula perjalanan karirnya di Microsoft, serta upaya yang ia lakukan untuk membawa perubahan di Microsoft. Cerita tentang masa kecil dan perjalanan Satya Nadella hingga bergabung dengan Microsoft ini cukup menyenangkan buat dibaca.
Ternyata perjalanan karir Satya di Microsoft sendiri sudah cukup panjang (sebelumnya dia sudah ada di level Senior Leadership Team sebagai Executive Vice President). Dia bergabung dengan Microsoft di tahun 1992 sebagai engineer, sebelum akhirnya menjadi CEO setelah bekerja di perusahaan itu selama 22 tahun. Perjalanan ini bisa dijadikan pembanding untuk hingar-bingar dunia start-up teknologi yang semuanya serba cepat. Buku ini tidak terlalu menjelaskan proses seleksi yang dilakukan oleh Microsoft dalam memiliki CEO-nya. Pasti kompleks sekali karena pertimbangannya juga sangat banyak. Mungkin suatu saat akan ada, semisalnya masa bakti Satya sebagai CEO sudah selesai.
Satya juga berbagi mengenai perjuangan yang harus dihadapi oleh keluarganya karena anaknya (Zain) memiliki kondisi cerebral palsy. Bagian ini membawakan pesan tentang pentingnya menunjukkan empati terhadap orang lain, karena setiap orang memiliki kondisi yang berbeda-beda.
Sebagai perusahaan yang besar, melakukan perubahan menjadi hal yang lebih kompleks karena sudah banyak kebiasaan lama yang terbentuk serta banyak pihak yang tidak ingin kehilangan zona nyamannya. Proses ini masih berlangsung hingga saat ini, namun buku ini memberikan landasan pikir serta visi yang hendak dicapai di masa depan oleh Microsoft.
Bagian belakang buku ini juga membahas mengenai pentingnya menjaga integritas perusahaan di tengah berkembangnya teknologi machine learning dan kecerdasan buatan. Bagian akhir buku ini tidak lagi menceritakan tentang aktivitas internal Microsoft, tetapi membahas mengapa cloud computing itu penting buat kemajuan negara, kenapa data security itu penting bagi kedaulatan hak individu, dan kenapa Microsoft (disampaikan secara implisit) adalah perusahaan yang terbaik dalam kedua hal tersebut.
Meskipun secara keseluruhan buku ini rasanya lebih seperti “CEO’s Memo” versi sangat panjang yang wajib dibaca oleh karyawan Microsoft. Pesan yang ingin disampaikan oleh sang CEO: “kita punya visi yang besar dan ingin berubah“. Mungkin penerbitan buku ini adalah salah satu langkah strategis dari change management yang sedang dijalankan oleh Microsoft. Semakin ke bagian belakang, buku ini tidak lagi menceritakan tentang Satya, melainkan mengenai Microsoft.
Meskipun kontennya (tentu saja) sudah dipilah agar menampilkan narasi yang konsisten dan positif, namun informasi yang disampaikan tetap memberikan gambaran lebih jauh mengenai apa yang telah dilalui dan hendak dicapai oleh Microsoft. Saya cukup menikmati membaca buku ini, terutama karena kisah hidupnya cukup “lurus” bila dibandingkan dengan isi biografi Elon Musk. Mungkin ini bedanya apabila biografi ditulis oleh diri sendiri.