Poverty and Famine: An Essay on Entitlement and Deprivation, Amartya Sen

Beberapa hari yang lalu diberitakan ibu Yulie di Serang meninggal karena kelaparan. Pada saat tulisan ini dibuat, ada pula berita satu keluarga yang kelaparan di Polewali – yang untungnya diselamatkan oleh warga sekitar). Miris sekali. Selain prihatin, saya juga merasakan kebingungan. Dengan situasi pandemi yang kita belum ada yang tahu akan jadi seperti apa ke depannya, terdapat pula potensi krisis pangan, yang kemudian ditanggapi oleh presiden Jokowi dengan menginstruksikan BUMN untuk membuka lahan sawah.

Pembahasan mengenai kemiskinan dan kelaparan adalah isu yang kompleks, sehingga saya merasa perlu mencari referensi pemikir lain yang pernah membahas isu serupa. Dalam artikel “daftar bacaan yang dibaca akademisi di Yale selama periode Pandemi“, dituliskan bahwa Professor Robert Shiller (dari Fakultas Ekonomi), membaca ulang esai dari Amartya Sen yang berjudul Poverty and Famines.

Amartya Sen adalah ekonom yang memenangkan hadiah Nobel di bidang Ekonomi atas pemikirannya di bidang welfare economics. Sebagai seorang akademisi, dia mengajar di Harvard University dan juga sudah menerbitkan banyak tulisannya dalam bentuk buku. Buku ini dibuat untuk mempersiapkan World Employment Programme yang dijalankan oleh ILO pada tahun 1969. Artinya buku ini sudah cukup lama diterbitkannya, tapi saya merasa masih ada informasi dan pemahaman yang diperoleh jika kita membacanya kembali di tahun 2020.

Dalam buku ini, bahasan utama adalah mengenai penyebab dari kelaparan (starvation and famine). Kelaparan tidak semata-mata disebabkan oleh kurangnya ketersediaan suplai bahan makanan, tetapi juga karena hilangnya entitlements, yaitu kemampuan seseorang untuk memperoleh hak-haknya.

Ada tiga bagian utama di buku ini. Bagian I (bab 1-5) adalah penjelasan konseptual yang dapat dipahami oleh awam; bagian II (bab 6-9) yang berisi case study di Bengal, Ethiopia, Sahel, dan Bangladesh; serta bagian III (lampiran) yang isinya lebih teknis. Bagian terakhir ini mungkin lebih cocok buat para ekonom yang ingin lebih jauh mempelajari bahasan penulis.

Sebenarnya buku ini memang tidak membahas pandemi, apalagi pada saat itu mungkin tidak terpikirkan akan ada situasi seperti COVID-19 saat ini. Tapi ada kesamaan di dalam tiap studi kasus yang disajikan: yang paling terdampak dalam krisis adalah mereka yang status sosialnya lemah. Mereka yang miskin dan berasal dari kalangan marjinal hanya dapat pasrah menunggu kematian. Meskipun kita sama-sama menderita di dalam krisis, tetapi penderitaannya tidak setara.

Kalau ada istilah “we are all in the same boat“, kayaknya jadi keliru. Dalam krisis pandemi COVID-19 ini, kita semua lagi ada di dalam badai yang sama, tapi perahunya beda-beda. Akan ada yang dengan mudah karam, akan ada yang tersesat, ada yang mentok,

Konsep ini kemudian menjadi alasan kenapa ketika terjadi isu kelaparan, yang harus dipersiapkan tidak hanya semata-mata meningkatkan suplai makanan, tetapi juga memastikan setiap orang memiliki kemampuan untuk mendapatkan makanan tersebut. Kita juga harus memikirkan bagaimana caranya melindungi mereka yang paling tidak berdaya di dalam situasi krisis tersebut.

Dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini, saya membayangkan betapa kompleksnya tugas pemerintah Indonesia dalam menyelamatkan rakyatnya. Ditambah lagi tidak semua orang yang bekerja di pemerintahan sekompak itu, masing-masing memiliki prioritas yang berbeda. Mungkin hal ini yang membuat beberapa kebijakan nammpak kurang konsisten, beberapa juga dikritik kurang tepat sasaran. Apapun itu, saya berharap semoga semuanya tetap didasari oleh keinginan untuk menolong masyarakat yang paling membutuhkan bantuan tersebut.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s