Judul artikel ini dikutip dari kalimat Carl Jung: Beware of unearned wisdom.
Pengetahuan dan kebijaksanaan itu datangnya dari mana sih? Jelas bukan datang-dari-sononya, melainkan diperoleh. Tapi bagaimana cara memperolehnya? Apakah bijaksana hanya dapat diraih lewat pengalaman yang kita lalui sendiri, atau bisa dari mendengarkan pengalaman orang lain? Nampaknya hal itu bisa jadi diskusi filosifis tersendiri
Socrates, dalam ramalan Oracle dari Delphi, dianggap sebagai orang paling bijaksana di Athena. Tapi Socrates sendiri merasa tidak mengetahui segalanya, sehingga dia terus-menerus mencari kebijaksanaan itu lewat terus bertanya. Mungkin salah satu komponen kebijaksanaan adalah hikmat dan kerendahan hati untuk tidak merasa diri sebagai yang paling ahli?
Di era Matinya Kepakaran, banyak orang merasa sebagai ahli yang sudah memiliki kebijaksanaan. Artikel ini muncul karena kepikiran aja dengan banyaknya konten di media sosial, dari macam-macam orang terkesan bahwa jawaban mereka adalah pilihan jawaban yang bijak.
Coba kita buka media sosial (bisa di YouTube, Instagram, atau media lainnya). Banyak sekali konten yang seolah dibuat oleh orang yang merasa paling tahu apa yang sebaiknya dilakukan oleh seseorang. Tapi ketika kita melihat kembali siapa yang membuat konten tersebut, kadang saya kepikiran: apakah bijaksana menuruti nasehat seseorang di internet yang kredibilitasnya tidak kita ketahui?
Ada aja konten yang menjelaskan tentang bagaimana seharusnya sesuatu dilakukan, padahal orang yang menjelaskan itu juga belum benar-benar terbukti dapat melakukan hal tersebut. Misalnya mengenai mengasuh anak, padahal si pembuat konten itu juga belum pernah mengalami sendiri aktivitas tersebut (dia hanya mengumpulkan artikel dari internet). Ada juga yang mengenai memilih pasangan hidup ideal, padahal si pembuat konten juga masih gagal dalam melaksanakan hal itu. Banyak pula yang membahas mengenai cara mengelola keuangan, yang bahkan nasehatnya dituruti oleh orang-orang yang sebenarnya memiliki kondisi finansial lebih baik daripada si pembuat konten itu sendiri. Yang mencemaskan buat saya adalah ketika konten tersebut ditelan bulat-bulat tanpa dianalisis lagi oleh si konsumen.
Bijak tidak sama dengan banyak tahu. Apalagi cuma sekadar tahu (dan merasa punya kredibilitas untuk menyebarkan kebenaran). Bijak, (mungkin benar kata Socrates), ada mengetahui bahwa masih ada banyak hal yang belum kita ketahui. Perjalanannya panjang dan kita lalui hingga akhir hayat.