Filsafat Untuk Hidup

773px-sanzio_01
The School of Athens, Raphael

Lukisan di atas adalah karya Raphael yang dibuat saat dia baru berusia 27 tahun; lukisan di dinding perpustakaan Vatikan ini diberi judul The School of Athens. Jika kita ingin punya “gambaran” filsafat Yunani, bisa dibilang lukisan ini adalah karya yang representatif karena di dalamnya hampir terhadapat seluruh tokoh filsafat Yunani yang terkenal di masanya.

Bila kita perhatikan lukisan ini, ada keseimbangan dan keteraturan dalam penempatan setiap tokohnya, sebagaimana pemikiran tiap tokoh filsafat Yunani berbeda-beda tetapi ada struktur di dalamnya. Di tengah lukisan ada Plato dan Aristoteles, dua tokoh besar dalam filsafat Yunani, yang nampak sedang berdiskusi. Plato menunjuk ke atas (langit), sedangkan Aristoteles menunjuk ke tanah (bumi). Bila kita ingat lagi pelajaran Filsafat di bangku kuliah, mungkin kita akan ingat kembali bahwa meskipun Aristoteles adalah murid Plato, namun dia memiliki pemikiran yang berbeda dibandingkan gurunya. Plato banyak membahas tentang dunia ideal/gagasan, sedangkan Aristoteles memikirkan bagaimana cara menjalani hidup sehari-hari secara utuh.

Tidak jelas apakah lukisan ini ber-setting di pasar, kuil, atau sekolah. Sejak belajar filsafat di bangku kuliah, saya cukup sering berpikir: bagaimana rasanya bila kita bisa belajar langsung dari para guru ini, sebagaimana yang digambarkan lewat lukisan ini? Jules Evans, pengelola London Philosophy Club, mencoba merumuskannya lewat buku Philosophy for Life.

Berhubung bukunya bagus, saya pindahkan review saya dari situs Goodreads ke sini, supaya lebih mudah ditemukan.

Philosophy for Life: And Other Dangerous SituationsPhilosophy for Life: And Other Dangerous Situations by Jules Evans

My rating: 5 of 5 stars

Dalam buku ini, konsep-konsep filsafat (khususnya filsafat Yunani) dibahas untuk membantu kita menghadapi permasalahan hidup sehari-hari. Mirip konsep bukunya Alain de Botton (Consolations from Philosophy, kalau tidak salah ingat). Penjelasannya mudah dipahami, apalagi penulis mampu menyampaikan gagasan setiap filsuf tanpa menggunakan istilah yang rumit. Buku ini dapat direkomendasikan bagi siapapun yang tertarik untuk mendapatkan insight dan menambah wawasan dalam berpikir.

Struktur bukunya disusun seolah-olah kita sedang “bertamu” ke Yunani kuno dan menghabiskan hari kita bersama tokoh-tokoh Yunani tersebut. Kita memulai pagi (tentu saja) bersama Socrates yang mengajak kita untuk memeriksa kembali cara berpikir dan juga cara kita menjalani hidup selama ini (the unexamined life is not worth living). Sesi pagi dilanjutkan dengan diskusi tentang cara-cara yang ideal dalam menjalani hidup: bagaimana cara mengelola ekspektasi, apa kegunaan dari bekerja, dan bagaimana cara  mengendalikan emosi.

Di jam “istirahat makan siang”, kita berdiskusi dengan Epicurus tentang bagaimana cara merasakan kenikmatan dalam hidup. Setelah itu, kita berdiskusi tentang hal-hal di luar kehidupan sehari-hari, yaitu aspek-aspek mistis dan spiritual dalam hidup. Tapi bab ini ditutup dengan pemikiran para filsuf Skeptis dan bagaimana menggunakannya agar kita tetap bisa memelihara kesehatan mental dalam menjalani hidup.

Di bagian berikutnya, kita tidak lagi hanya memikirkan diri kita sendiri dan bergerak ke ranah publik, yaitu politik. Bagaimana cara bermasyarakat yang ideal? Siapa yang seharusnya menjadi pemimpin? Ciri apakah yang harus dimiliki oleh pemimpin? Tujuan apakah yang sebaiknya diutamakan ketika kita hidup bermasyarakat?

Sebagai penutup, buku ini membahas tentang penutupan hidup kita: kematian. Kematian seperti apakah yang ideal? Bagaimana cara mencapai kepuasan hidup sehingga kita tidak menyesal saat kematian menghampiri kita? Apakah kematian adalah hak individu?

Yang saya suka dari buku ini adalah upaya dari penulis untuk tetap bersikap “adil” terhadap tiap pendekatan filosofis yang sedang digunakan, sehingga pembaca tetap mendapatkan gambaran mengenai keterbatasan dari pemikiran filsuf tersebut. Sejauh manakah pemikiran Plato cukup realistis untuk dijalani di kehidupan modern? Apakah orang-orang Stoic memberikan sumbangsih yang memadai dalam kehidupan bermasyarakat? Apa keterbatasan dari cara berpikir yang skeptis?; masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang mendorong kita sebagai pembaca untuk tidak serta merta menelan bulat-bulat konsep yang sebelumnya baru saja kita baca.

Sebagai psikolog, saya juga suka bagaimana penulis mengkaitkan pemikiran filosofis dengan prinsip-prinsip psikoterapi, khususnya CBT. Pikiran kita berpengaruh terhadap cara kita memandang sesuatu, yang kemudian berpengaruh pada emosi yang kita rasakan. Oleh karena itu, kalau kita bisa mengubah pemikiran kita maka kita pun bisa mengubah cara pandang dan emosi yang kita rasakan. Pemikiran para filsuf inilah yang kemudian dijadikan sebagai serangkaian alternatif cara berpikir dalam menjalani hidup dan menghadapi masalah.

Dia pun menyampaikan kritik terhadap pendekatan Psikologi Positif yang sekarang mulai menjadi populer, termasuk di Indonesia. Ini wawasan yang cukup baru bagi saya, karena selama ini saya lebih banyak mendalami Psikologi Positif melalui literatur yang mendukung pendekatan tersebut saja (dan juga ditulis oleh orang-orang psikologi). Rupanya memang benar bahwa tidak ada 1 obat ajaib dari tabib yang mujarab memulihkan SEMUA penyakit.

Ringkasnya, penulis mengkritik konsep PERMA dari Martin Seligman (kebahagiaan/well-being ternyata tidak ada hubungannya dengan moralitas, sehingga penjahat pun bisa merasa bahagia dalam kejahatannya. Artinya Psikologi Positif bukanlah solusi yang tepat untuk merancang kebijakan dalam hidup bermasyarakat, karena bisa jadi orang tetap akan berbuat jahat asalkan dia bisa bahagia). Selain itu, patokan-patokan saintifik tentang bahagia ini pun menjadi masalah tersendiri karena seolah-olah orang hanya dianggap sudah “hidup” apabila memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh orang lain (yaitu para ilmuwan psikologi). Padahal mungkin ada hal-hal yang tidak bisa diukur dengan angka.

Bekal pemikiran filsuf yang diberikan oleh buku ini tentunya tidak serta-merta akan mengubah diri kita secara menyeluruh. Biar bagaimanapun juga, perubahan adalah hal yang sulit. Mengubah pemikiran saja sulit, apalagi mengubah kebiasaan sehari-hari dan cara menjalani hidup. Akan tetapi, bila kita mau membuka diri terhadap pemikiran yang baru, tentunya kesempatan untuk berubah akan tetap ada. Pemikiran para filsuf ini sangat bermanfaat untuk memberi “struktur” dalam upaya kita menyusun filosofi hidup pribadi.

View all my reviews

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s