Biasanya saya malas nonton film yang berdasarkan kisah nyata. Seringkali jalan ceritanya terlalu dibuat-buat, atau bahkan hanya menyoroti sebagian sisi dari kisah yang sebenarnya saja. Perjalanan rumit dan kompleks yang dialami oleh tokoh yang berkaitan, pada akhirnya hanya menjadi suatu karikatur saja dari peristiwa yang sebenarnya.
Tapi film Spotlight (2015) ini beda.
Film ini tidak berisi adegan kejar-kejaran atau special effect apa-apa. Isinya hanya orang ngobrol saja. Spotlight yang menjadi judul film ini adalah tim jurnalis investigatif dari koran The Boston Globe, yang sedang menelusuri skandal seks yang melibatkan pastor di daerah tersebut.
Pembuat film ini pun dapat menyajikan kasus yang ada dengan cara yang cukup peka, tanpa melebih-lebihkan atau sengaja menampilkan adegan yang dimaksud. Tiap aktor mampu meyakinkan penonton bahwa skandal yang dihadapi merupakan sesuatu yang mengerikan.
Ada beberapa adegan yang sangat menarik, tetapi saya akan tuliskan dua buah di sini:
Saat seorang wartawan meminta akses terhadap surat-surat yang dapat membuktikan keterlibatan uskup dalam menutupi kasus tersebut, dia mendapat pertanyaan: “Ini dokumen yang sangat sensitif. Apakah kamu paham konsekuensi etisnya kalau ini dipublikasikan?“, yang kemudian dijawab oleh wartawan tersebut: “Gimana konsekuensinya kalau tidak dipublikasikan?”
Kadang kita harus berani menyampaikan kebenaran, meskipun bisa menimbulkan kegaduhan. Seringkali upaya kita untuk mencari aman dan rasa tenang justru berasal dari kekeliruan yang disembunyikan.
Yang kedua:
“If it takes a village to raise a child, it takes a village to abuse one.“
Seringkali keburukan terus-menerus terjadi dan bertahan, karena semua orang bersepakat (baik secara rela maupun tidak sukarela) untuk tetap diam. Lebih baik tidak menimbulkan keributan, yang tenang saja lah.
Saya rasa ini merupakan hal universal yang umum terjadi bagi manusia dalam konteks sosial. Tapi terkadang, kita butuh bersuara. Berani berpendapat, terutama bila perubahan itu memang diperlukan.