Tiap kali bahas orang yang lagi “kenapa-kenapa” secara psikologis, biasanya bahasannya merujuk ke masa lalunya. Apalagi pengalaman masa kanak-kanaknya. Kebanyakan orang awam yang ga kuliah psikologi juga “sudah tahu” bahwa pengalaman trauma pada masa kanak-kanak dapat mengakibatkan seseorang mengalami ketidakbahagiaan dan kegagalan.
Misal:
S adalah wanita yang tidak cantik dan tidak anggun. Ibunya lebih menyayangi kedua adik laki-lakinya, serta sering mengkritik dirinya sehingga menimbulkan rasa malu dan terasing. Ayahnya meninggalkan keluarga S saat dia masih muda, dan ibu S meninggal saat usia S baru 9 tahun (belakangan, adiknya juga meninggal di usia muda), sehingga S harus mengasih neneknya juga. Nenek S memisahkan S dari anak-anak yang lain dan membuat S kurang menikmati masa kanak-kanaknya. S sangat kesepian dan kegiatan yang sering dia lakukan hanya membaca, melamun, dan berjalan-jalan sendiri.
Orang dengan karakteristik di atas, kalau kita merujuk ke kalimat pertama di postingan ini, terbayangnya dia akan jadi apa ke depannya? Harusnya siiih… akan tumbuh jadi orang gagal yang mengalami masalah emosional, atau bermasalah dengan lingkungan sosial, atau semacamnya.
Tapi profil siapa yang sebenarnya sedang dibahas di atas?
Eleanor Roosevelt.
First Lady Amerika, istri dari FDR.
Aktivis HAM.
Salah satu perancang Universal Declaration of Human Rights dari PBB.
Kisah hidupnya cukup inspiratif, klik link di atas untuk masuk ke laman Wikipedia-nya.
Ada beberapa ucapan dan tulisannya yang cukup oke untuk dijadikan kata-kata mutiara gitu juga loh 😀
Jadi apa iya pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan itu selalu menjadi prediktor tentang kegagalan di masa depan? Apakah masa lalu negatif itu pasti ke depannya akan hancur lebur?
Dari cerita Eleanor Roosevelt di atas: sebenarnya masa lalu bisa memengaruhi kita hingga saat ini. Tapi kita tidak harus terus-menerus dipengaruhi dan dipenjara oleh pengalaman masa lalu kita dalam menentukan masa depan kita.