Rene Diekstra, seorang psikoterapis dari Belanda, mengatakan bahwa kita seringkali merencanakan terlebih dahulu bagaimana kita akan berperilaku dalam suatu situasi. Umumnya kita akan membuat “naskah” (script) perilaku verbal yang akan kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat mempengaruhi reaksi orang lain.
Kita melakukan perencanaan ini terlebih dahulu untuk meningkatkan peluang bahwa kita akan mendapatkan reaksi yang kita inginkan. Perencanaan semacam ini merupakan hal yang umum dan socially acceptable.
Tapi kita justru jarang menghabiskan waktu kita untuk memeriksa dan melakukan perencanaan terlebih dahulu tentang bagaimana kita berbicara pada diri kita sendiri. Tidak heran kalau kita seringkali merasa terganggu oleh isi pikiran kita sendiri.
Terima kasih penjelasannya om agus, tapi saya belum mengerti yang dimaksud dengan berbicara pada diri kita sendiri itu seperti apa ya? apakah seperti yang kita lihat di sinetron sinetron indonesia? :)))
apa yang membedakan antara berbicara pada diri kita sendiri dengan perencanaan rencana itu sendiri?
Terima kasih.
Saat kita mau ngomong sama orang lain, kita seringkali berpikir “gimana caranya ya supaya apa yang mau saya sampaikan ini dapat dipahami dengan jelas, tidak dipahami dengan negatif, dan memberikan hasil yang positif sesuai dengan yang saya inginkan?”. Jadi ada proses mikir ulangnya dulu.
Saat ngomong dengan diri sendiri, seringkali nggak begitu. Misalnya kita ketemu sama orang yang kita kenal di jalan, terus kita nyapa. Tapi orang itu ga bales sapaan kita, nah saat itu kita berbicara pada diri kita sendiri “jangan-jangan dia sengaja soalnya nggak suka sama saya” -> “artinya saya nggak disukai orang” -> “saya tidak berharga”.
Kasian kan diri kita, dibuat menderita oleh apa yang kita ucapkan pada diri kita sendiri.
Oo gitu ya, kalo gitu arfan kadang kadang sering ngalamin. Hha
Jadi kalo boleh disimpulin, overthinking itu boleh, selama dalam hal pertanyaan, bukan dalam hal pernyataan atau kesimpulan. Begitu om agus?