Buku The Other Side of Sadness

Waktu saya SMA, ada tulisan ini di buku teks Akuntansi saya, parafrase dari Benjamin Franklin: “cuma ada dua hal yang pasti di dunia ini: kematian dan pajak“. Kematian memang bagian yang tidak terhindarkan dari kehidupan ini, melengkapi the circle of life mungkin, istilahnya.

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca buku The Other Side of Sadness: What the New Science of Bereavement Tells Us About Life After Loss. Buku ini saya rasa cukup menarik, terutama karena topik yang dibahas juga baru belakangan ini saya alami sendiri. Tulisan ini bukan cuma merupakan resensi atas buku ini, namun juga merupakan tanggapan pribadi saya setelah membaca buku karya George Bonanno ini. Tulisannya juga mungkin agak ribet dan lebih menarik bagi mahasiswa psikologi, karena memang buku ini sangat ilmiah dan merupakan kumpulan riset.

Buku ini berisi kumpulan hasil penelitian dan juga interview yang dilakukan oleh penulis. Menurut Bonanno, kebanyakan buku tentang grief memiliki perspektif yang (ternyata) sempit, karena ditulis dokter atau psikoterapis. Hal itu justru menimbulkan bias, karena klien yang akan datang pada mereka adalah klien yang memang hidupnya sudah dikonsumsi oleh penderitaan, sehingga mereka membutuhkan pertolongan profesional. Usaha mengatasi grief bukanlah suatu hal yang sepele, terutama bagi orang yang merasakan derita karenanya. Namun, apa yang ditemukan para praktisi dari kliennya tidak dapat digeneralisasikan pada kebanyakan orang pada umumnya.

Berbeda dengan buku tentang grief pada umumnya, George Bonanno melihat fenomena grief dari pendekatan resiliensi. Biasanya orang psikologi mengasosiasikan proses grief dengan lima tahapan dari Kubler-Ross: denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance. Kebanyakan teori grief juga memandang proses ini sebagai suatu “progressive work” yang membutuhkan waktu lama untuk diselesaikan. Bahkan, ada peristilahan “grief work” untuk mendeskripsikan proses ekstensif yang harus dilalui oleh semua orang yang ditinggal mati, sebelum mereka akhirnya dapat menerima kehilangan tersebut.

Tabel di atas menggambarkan bahwa pada umumnya, justru orang tidak menampilkan simptom grief yang parah karena manusia memiliki resiliensi. Jadi, dari manakah munculnya pemikiran tentang grief work ini?

Pada tahun 1917, Freud menulis artikel (Mourning and Melancholia) yang membandingkan tentang grief dan depression. Kedua hal tersebut sama-sama melibatkan kerinduan akan sesuatu yang telah hilang. Dalam pemikiran Freud, grief work adalah usaha untuk memperoleh kembali energi psikologis yang telah kita “invest” pada figur orang meninggal yang kita cintai. Istilah yang digunakan Freud sangat tidak indah, yaitu “non-existent object”.

Menurut Freud, saat kita membentuk ikatan psikologis dengan orang lain, kita menggunakan semacam lem emosional primitif yang disebut “libido”. Ini adalah daya motivasional yang mendorong reaksi kita terhadap segala hal yang masuk ke dalam kepedulian kita (karena ini Freud, tentu saja sex termasuk ke dalamnya). Libido ini jumlahnya terbatas, jadi kita menggunakannya secara ekonomis. Apa yang kita “invest” pada seseorang tidak dapat kita gunakan untuk yang lainnya.

Dalam mekanika Freud, kematian orang yang kita cintai menciptakan penderitaan karena pikiran kita berfungsi dengan buruk ketika kekurangan “psychic fuel“, tetapi juga karena kita merindukan seseorang yang sudah tidak ada. Kondisi ini terus berlanjut hingga kita melakukan “grief work” untuk mengklaim kembali energi yang sudah kita “invest” pada orang tersebut. Freud menggunakan istilah “work” (usaha, kerja), karena istilah “lem” itu dianggap benar-benar tepat. Begitu kita terikat dengan seseorang, kita akan sulit untuk melepaskannya. Ketika orang yang kita cintai meninggal, kita menempelkan diri kita pada kenangan orang tersebut secara intens, sehingga kita dapat lari dari realita.

Namun, teori Freud mengenai grief sendiri sebenarnya masih berupa spekulasi (ini diakui sendiri oleh Freud). Dia juga tidak menjelaskan bagaimana “lem emosi” ini berfungsi, dan kenapa kita harus melepaskan diri dari “lem” tersebut setelah orang yang kita cintai meninggal. Sudah banyak kemajuan yang terjadi sejak Freud menuliskan artikelnya. Saat ini, proses berduka justru dapat ditujukan untuk memperkuat ikatan emosional dengan yang sudah meninggal.

Bagian berikut dari buku ini menjelaskan kumpulan anekdot dan juga riset terhadap orang-orang normal yang ditinggal mati oleh orang yang dicintainya. Dalam berduka, sebenarnya proses yang terjadi sangat kompleks. Kita tidak “hanya” merasakan emosi sedih, tetapi juga merasakan berbagai emosi. Hal ini muncul dari perubahan yang kita alami setelah orang yang kita cintai meninggalkan kita: situasi lingkungan berubah, hubungan kita berubah, kondisi finansial berubah, peran kita berubah, dan sebagainya. Terkadang perubahan ini bisa menimbulkan emosi positif, tapi bisa juga emosi negatif.

Karena emosi yang dirasakan juga beragam, maka yang sebenarnya dirasakan oleh orang pada umumnya adalah sebuah “oscillation“, seperti sebuah pendulum. Memang kita akan merasakan sedih, tapi kita tidak selalu tenggelam dalam kesedihan. Kita juga tidak akan sepenuhnya melupakan rasa sedih itu, terkadang kita mengingatnya kembali. Seiring berlalunya waktu, oscillation ini bergerak semakin pelan, sebelum akhirnya stabil kembali.

Di bagian berikutnya, Bonanno juga membahas tentang perbedaan budaya dalam memandang kematian. Ini menarik, karena teori Psikologi di Indonesia hampir semuanya berasal dari Barat. Ada perbedaan nilai-nilai yang akan berpengaruh terhadap bagaimana cara kita memandang kematian. Masyarakat yang lebih fokus pada “here and now” tentunya beda dengan masyarakat yang menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari. Penulis juga memberikan contoh menarik, yaitu ritual yang dilakukan oleh orang Cina dalam berduka (membakar uang, memberikan persembahan, dan sebagainya), karena apa yang dianggap sebagai hal abnormal di Barat justru jadi hal biasa di Timur.

Secara umum, buku ini membantu saya karena memberikan gambaran bahwa proses grieving adalah hal normal yang dapat dilalui oleh tiap orang, karena sebenarnya kita memiliki resiliensi atau ketangguhan dalam menghadapi hal tersebut. Kita tidak perlu menjadi khawatir sendiri ketika kita tidak mengalami apa yang dituliskan dalam buku teori psikologi. Proses berduka bukan merupakan momen saat kita harus terjatuh, terpuruk, dan harus ditolong oleh psikolog/psikiater*, tapi justru merupakan momen dimana kita semakin memperkuat diri kita.

* = tapi kalau anda memang memerlukan bantuan psikolog, jangan ragu untuk menghubungi psikolog terdekat

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s