Jurnal Jumat: Adaptasi Psikologis Para Calon Psikolog

Saat ini, saya dan teman-teman seangkatan di Mapro Psikologi Unpad lagi Kasuistika dan Konseling. Muka kusut, mata orang yang kurang tidur, dan kepala tertunduk jadi pemandangan yang mudah ditemukan di sini. Pokoknya yang depresif begitu deh nuansanya. Apalagi di social media ๐Ÿ˜€

Tapi… yang tetap ceria, santai, dan seolah-tanpa-beban-hidup juga ada. Ada yang merasa seluruh waktunya terkuras oleh perkuliahan, tapi ada juga yang merasa biasa saja, malah ada yang sambil tetap bekerja. Ada yang merasa kayak masuk neraka, tapi ada juga malah merasakan kenikmatan sendiri dalam menjalani kuliah. Ternyata mahasiswa profesi psikologi punya reaksi yang berbeda-beda terhadap kondisi yang dihadapinya.

Apakah ini hanya terjadi di tempat saya kuliah saja, atau di tempat lain juga begitu? Pertanyaan ini terjawab ketika saya menemukan jurnal penelitian dari Kuyken, et. al. (1998), yang berjudul: The Psychological Adaptation of Psychologists in Clinical Training: The Role of Cognition, Coping and Social Support. Artikel ini diterbitkan dalam Clinical Psychology and Psychotherapy, volume 5, tahun 1998.

Boleh lah ya sekali-sekali bahas jurnal ilmiah, biar keliatan kalau saya memang mahasiswa S2 ๐Ÿ˜› Bacaan kali ini mungkin lebih menarik untuk mahasiswa jurusan Psikologi, hehehe.

Penelitian ini membahas tentang “adaptasi psikologis” pada calon psikolog di Inggris (dan bagaimana hal itu berkaitan dengan appraisal, coping, serta social support). Menurut Sherman (1996, dalam Kuykens et.al., 1998), ada beberapa hal yang jadi alasan mengapa pemahaman mengenai bagaimana calon psikolog belajar beradaptasi menjadi suatu hal yang penting:

  1. Banyak psikolog dan psikiater yang menggunakan pengalaman pribadinya sebagai landasan dalam model klinis yang digunakannya ketika praktek (misal: Carl Rogers, Victor Frankl, Sigmund Freud, Mark Epstein)
  2. Psikolog yang sedang mengalami distress dapat mengalami kesulitan dalam melakukan pekerjaannya
  3. Pemahaman tentang kesulitan yang dialami oleh psikolog akan membuat kita lebih mampu menciptakan sistem yang mendukung mereka agar dapat beradaptasi dan menciptakan lingkungan yang optimal
  4. Pemahaman tentang adaptasi psikologis para calon psikolog dan respon mereka terhadap kebutuhan mereka dapat membantu membentuk profesi ini secara lebih positif.

Cushway (1992) menemukan bahwa calon psikolog klinis di Inggris memiliki skor psychological distress yang tinggi. Diduga bahwa hal ini berkaitan dengan tuntutan dan pengalaman yang mereka alami dalam proses menjadi seorang psikolog. Misalnya:

  • Mereka banyak mengalami life events (pindah rumah, kost pertama kali, pindah ke daerah baru, menikah, punya anak, dsb.)
  • Harus bepergian jarak jauh (kampus terpencil in the middle of nowhere… wah Jatinangor banget ini)
  • Beban akademis yang berat, tuntutan praktikum yang tinggi
  • Masalah finansial (sekolah itu tidak murah)
  • Terus menerus merasa dievaluasi, sehingga dapat mengalami krisis percaya diri
  • Merasa terus harus bekerja hingga seluruh batas kompetensi yang dimiliki, bahkan lebih

Stressor tersebut memberikan beban tersendiri pada tanggungjawab dan hubungan interpersonal di rumah. Dalam kerangka konseptual yang dibuat oleh Kuyken et al. (1998) dalam penelitiannya, dia mengadaptasi transactional theory of coping dari Lazarus dan Folkman (1984). Intinya, orang akan mengalami stres jika 1) stressor dinilai (appraisal) sebagai suatu hal yang mengancam, dan 2) dia merasa tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk mengatasi ancaman tersebut.

Supaya nggak dibilang ngarang (:P), saya akan beri sedikit ringkasan tentang metodologi yang digunakan dalam penelitian ini. Kalau mau melihat data-data kuantitatifnya, mungkin lebih enak baca jurnalnya langsung deh.

Metodologi
Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah 183 calon psikolog dari 15 buah kampus yang memiliki jurusan Psikologi Klinis. Sampel ini terdiri dari 150 wanita (82%) dan 33 pria (18%). Rata-rata usia adalah 27 tahun, dengan rentang usia dari 23 hingga 43 tahun. Status perkawinan partisipan penelitian ini adalah 87 single (48%), 58 orang tinggal bersama pasangan (32%), 36 orang menikah (20%), dan 1 bercerai (0,5%).

Alat Ukur
Appraisal. Peneliti mengkonstruksi sendiri alat ukur appraisals of thread, of harm-loss, dan of control; ini hasil modifikasi dari konsep-konsep Lazarus dan Folkman (1984). Karena skor internal consistency yang rendah, maka item appraisals of harm-loss tidak digunakan dalam analisis.

Coping. Untuk mengukur variabel ini, yang digunakan adalah Ways of Coping Questionnaire (WCQ). Pada dasarnya, kuesioner ini dapat memberikan gambaran apakah partisipan penelitian menggunakan approach coping (mencari dukungan sosial, merencanakan pemecahan masalah, atau menilai kembali permasalahan secara positif) atau avoidance coping (menciptakan jarak dan mencari pelarian).

Social Support. Alat ukur yang dipakai untuk mengukur variabel ini adalah Significant Others Scale (SOS) (Power et al., 1992), yang menjelaskan kepuasan subjek mengenai dukungan yang dia persepsikan dalam berbagai area. Sumber dukungan sosial yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1) pembimbing, 2) dukungan formal yang disediakan kurikulum, 3) sesama calon psikolog, dan 4) confidante di luar kampus (pasangan, sahabat, atau kerabat).

Perceived Stress. Diukur dengan menggunakan Perceived Stress Scale (Cohen et al, 1983). Kuesioner baku ini digunakan karena skor validitas (predictive dan construct) serta reliabilitas (internal) yang tinggi.

Psychological Adaptation. Pengukuran dilakukan dengan Employee Assistance Program Inventory (EAPI) (Anton & Reed, 1994). Alat ukur ini bisa menciptakan profil masalah psikologis seseorang yang terkait adaptasi, yaitu: kecemasan, depresi, rendah diri, masalah marital, masalah keluarga, stressor eksternal, konflik interpersonal, penyesuaian kerja, minimalisir masalah, dan penggunaan zat adiktif.

Positive Feeling. Variabel ini diukur dengan World Health Organization Quality of Life Assessment (WHOQOL). Skala ini mengukur seberapa besar pengalaman perasaan positif (kepuasan, keseimbangan, damai, bahagia, kenikmatan, dsb.) yang dialami oleh subjek penelitian.

Tentunya penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan metodologis:

  1. Analisis dilakukan dengan desain cross-sectional sehingga kita tidak bisa menetapkan causal relationship antara variabel yang digunakan dalam penelitian ini.ย 
  2. Beberapa variabel masih jarang digunakan di penelitian psikologi (pada saat itu), sehingga kita tidak bisa membandingkan dengan hasil studi yang lain.ย 
  3. Adanya sebaran data membuat teknik analisis regresi sedikit terpengaruh (confounded).ย 
  4. Metodologi survei ini membuat terbatasnya informasi mendalam yang diperoleh dari partisipan penelitian (dan juga tidak ada data longitudinal).ย 
  5. Subjek penelitian ini semuanya dari Inggris, sehingga mungkin hasilnya tidak akan sepenuhnya sama dengan mahasiswa program profesi psikologi di Indonesia ๐Ÿ™‚ย 

Jadi… take this with a grain of salt ya.
Hasil Penelitian

Setelah dilakukan proses pengambilan data, ada beberapa temuan yang menarik yang akan saya sampaikan dalam bentuk poin-poin:

  • Sebagian besar responden memiliki skor perceived stress yang tinggi, tapi tidak mengalami masalah adaptasi psikologis yang besar. Tuntutan dan tantangan pendidikan psikolog memang berat, karena individu akan mengalami perubahan identitas, harus menempatkan diri dalam peran profesional, mengatasi tuntutan akademis dan praktikum, dan menyesuaikan diri dengan jadwal yang terus berubah. Semua hal itu dapat mempengaruhi mereka dalam hubungan interpersonal dan saat menjalankan tanggungjawab di tempat lain, misalnya di rumah. (berarti bukan cuma kita aja yang stres, mahasiswa di Inggris juga stres :D)
  • Calon psikolog yang berusia lebih tua memiliki appraisal of control terhadap stres yang lebih rendah dan juga memiliki eksternal stressor yang lebih banyak dibandingkan mereka yang lebih mudah. Ada beberapa hal yang diduga menjadi berkaitan, misalnya: 1) karena sebelumnya mereka sudah pernah bekerja, mereka butuh usaha lebih untuk kembali menyesuaikan diri, 2) karena usia lebih tua, mereka juga punya tanggungjawab dalam posisi lain (keluarga, finansial, dsb.)
  • Calon psikolog priaย  punya kecenderungan untuk melakukan coping dengan cara menciptakan jarak dan menggunakan zat adiktif (misalnya rokok dan alkohol), berbeda dengan wanita yang cenderung mencari dukungan sosial.
  • Calon psikolog yang ditempatkan pada bidang Learning Disabilities dan Children lebih stres dan lebih banyak mengalami kesulitan beradaptasi dibandingkan dengan mereka yang ditempatkan di bidang Adult Mental Health. Kenapa? Karena jurusan tersebut melibatkan lebih banyak orang dalam praktiknya, misalnya orangtua anak, pihak institusi tempat dia praktik, dan sebagainya.
  • Dukungan emosional dari pembimbing, dukungan formal yang disediakan kurikulum, dan confidante di luar kelas berpengaruh besar terhadap adaptasi psikologis subjek. Dukungan dari confidante mencari secure psychological base yang membuat individu dapat kembali bersemangat menghadapi tantangan yang ada, sedangkan dukungan dari pembimbing membantu mereka menyesuaikan diri dengan pekerjaan yang harus mereka selesaikan.

Selain data kuantitatif, peneliti juga melakukan sedikit analisa kualitatif atas komentar salah seorang partisipan penelitian yang berkata:

“There is a great pressure to be seen to be coping and doing well.”

Wah, ini sama banget dengan yang dirasakan oleh beberapa orang di angkatan kami. Kadang-kadang saya juga merasakan ini. Apalagi setelah lanjut ke praktik Konseling, berasa dituntut untuk jadi semacam malaikat atau dewa. Rasa takut mengakui kelemahan diri dan stres karena takut kehilangan status, takut mendapatkan nilai jelek, takut disuruh mengulang, dan ‘tidak mau jadi pasien’ merupakan hal yang dialami oleh kebanyakan mahasiswa calon psikolog. Hal tersebut dapat membebani secara emosional pada kepercayaan diri, meningkatkan kecemasan, dan membuat depresi.

Seorang calon psikolog perlu berusaha mengatasi masalah adaptasi yang dialaminya… karena kalau tidak, bagaimana bisa dia membantu orang lain yang datang padanya dengan membawa masalah? Stres adalah bagian dari kehidupan yang akan selalu ada, sehingga tidak mungkin berharap bahwa akan ada kurikulum pendidikan profesi psikolog yang bebas stres. Bahkan si peneliti berkata bahwa stressor itu harus ada agar mahasiswa punya kesempatan untuk mengembangkan diri.

Peneliti itu mengusulkan bahwa untuk dapat beradaptasi dengan lebih baik dengan situasi yang dihadapi, hal yang bisa dilakukan adalah:

  • Mengakui bahwa memang ada hal-hal yang membuat diri merasa terancam, jangan terus menerus menampilkan diri seolah tegar padahal rapuh, seolah santai padahal gelisah.
  • Mengubah persepsi dengan menganggap ancaman sebagai sebuah tantangan yang dapat dikendalikan oleh diri
  • Mengurangi avoidance coping, dan jangan minder atau malu untuk mencari dukungan sosial dari pembimbing, institusi pendidikan, teman kuliah, maupun dukungan dari rumah.

Mudah-mudahan pembahasan ini bisa bermanfaat. Boleh dikirimkan juga ke teman-teman jurusan Psikologi yang kalian kenal, siapa tahu bisa membantu mereka ๐Ÿ˜€

Iklan

6 tanggapan untuk “Jurnal Jumat: Adaptasi Psikologis Para Calon Psikolog

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s