Tentang Penghayatan

Seorang penulis asal Perancis, Marcel Proust, sedang sekarat dan terpuruk di kasur menunggu ajalnya. Sejak kecil, dia memang sudah sakit-sakitan dan saat itu dia sekarat karena menderita pneumonia. Dalam kondisi seperti itu, apa yang dia inginkan? Dia ingin mendiktekan ulang novel barunya yang masih dalam proses pembuatan. Ada bagian yang ingin diubahnya: yaitu bagian yang menceritakan salah satu karakternya sedang dalam kondisi sekarat. Dia baru benar-benar menghayati sendiri seperti apa rasanya sekarat, sehingga dia sekarang tahu apa yang dirasakan oleh karakter dalam novel yang ditulisnya.

Beberapa minggu yang lalu, saya diberi tugas di kelas oleh seorang dosen untuk bercakap-cakap dengan seorang teman sekelas selama 15 menit, mendengarkannya, dan menghayati apa yang saya alami saat itu. Begitu saja. Tidak pakai alat perekam, tidak pakai kertas dan alat tulis untuk mencatat. Di akhir percakapan tersebut, kami harus membuat gambaran fungsi emosi yang dimiliki oleh teman sekelas kita.

Kelihatannya bukan tugas yang berat ya? Tapi ternyata sebagian besar mahasiswa di kelas itu salah memahami instruksi dosen dan keliru mengerjakan tugas. Termasuk saya, dan itu ketahuan dosen soalnya pas giliran saya yang presentasi pertama banget. Kebanyakan dari kami menuliskan “penghayatan” berupa deskripsi kejadian yang muncul. Saat mulai membuka pembicaraan, saya melakukan ini, lalu setelah itu membahas ini, lalu membicarakan itu. Untuk menutup, saya mengatakan ini-itu-ini-itu. Padahal, yang diminta adalah penghayatan, bukan laporan berita.

Keesokan harinya, kami melakukan kegiatan yang sama di sesi pertama (bercakap-cakap). Setelah itu, beberapa orang mempresentasikan hasilnya, dan… ternyata tetap salah. Kenapa? Karena semua yang kami ungkapkan adalah penghayatan yang normatif (“saat mulai bicara, awalnya saya merasa canggung. Tapi kemudian saya mulai merasa tertarik dengan apa yang disampaikan oleh klien…. dan seterusnya”). Dengan kata lain, hanya mengungkapkan hal-hal di dalam diri yang dapat diterima oleh semua orang.

Padahal, isi hati kita sangat kaya dengan berbagai penghayatan. Tentunya hal ini jadi pelajaran dan umpan balik dari dosen terasa menarik bagi kami semua: seringkali kami menggunakan topeng ‘mahasiswa jurusan psikologi’ untuk melarikan diri dari perasaan-perasaan kami yang tidak menyenangkan saat berhadapan dengan orang lain. Tidak sedikit yang berpikiran bahwa sarjana psikologi itu kan tutur katanya harus dijaga, harus tidak menyinggung perasaan orang lain, lalu harus mau mendengarkan orang lain, dan juga berbagai ‘harus’ lainnya. Hasilnya: kami hanya mengatakan hal-hal positif yang sebetulnya normatif (atau hanya mendeskripsikan fakta), sembari membohongi lingkungan sekitar.

Psikolog juga manusia, jadi sangatlah normal jika mereka juga dapat merasakan emosi yang negatif (misalnya: sedikit cemburu saat mendengarkan kisah cinta klien, merasa bosan saat klien menggebu-gebu menceritakan prestasinya, dan sebagainya). Sebagai mahasiswa calon psikolog, saya merasa bahwa saat itu kami diajarkan untuk lebih jujur terhadap suara hati sendiri, dan juga berani mengungkapkannya. Pelajaran pertama ini sangat berharga buat saya, karena saya rasakan sendiri betapa beratnya mengungkapkan isi hati secara jujur. Bukan hanya saat berada dalam peran sarjana psikologi, tapi juga dalam beberapa aspek kehidupan yang lain.

Jika kami berani jujur mengakui apa yang dihayati di dalam hati kita, maka barulah setelah itu kami bisa benar-benar menghayati apa yang disampaikan oleh orang lain. Benar-benar mendengarkan, benar-benar merasakan, dan benar-benar peduli. Kita tidak lagi menyusun pikiran dan menganalisa data, tetapi juga ikut menggunakan hati untuk merasakan. Mungkin inilah “empati” yang sering disebut oleh banyak orang?

Kembali ke kisah Marcel Proust di pembuka tulisan ini, kita tidak selalu harus mengalami sendiri peristiwa yang dialami oleh orang lain untuk dapat memahami mereka. Jika kita mau benar-benar mendengarkan, maka kita dapat benar-benar menghayati… yang akan membawa kita menjadi benar-benar memahami orang lain, dan juga dipahami oleh orang lain.

Ternyata, tugas yang awalnya tidak terkesan berat (padahal berat) memberikan pelajaran yang nilai dan manfaatnya sangat besar buat kami semua. Perjalanan menjadi psikolog ini memang berat, tapi dipenuhi pelajaran menarik yang tidak hanya mengembangkan kompetensi dalam menjalankan tugas profesi, tapi juga pengembangan pribadi 🙂

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s