Sekarang saya berumur 24 tahun, yang dalam klasifikasi tahap perkembangan Jeffrey Arnett artinya saya sudah berada di penghujung masa Dewasa Awal (emerging adulthood). Kalau mengenang kembali diri saya 6 tahun yang lalu, saya mungkin akan sedikit menghela nafas. Apalagi kalau membandingkannya dengan diri saya yang sekarang.
Terlintas pertanyaan: “kok bisa-bisanya saya melakukan itu? Saat itu saya berpikir seperti itu, masa sih? Kenapa saya memilih tindakan itu? Kenapa kemudian saya tidak melakukan pilihan yang itu? Kok saya tidak sadar bahwa saya bisa melakukan yang lain?” …dan seterusnya, sampai panjang sekali.
Pertanyaan berikutnya di kepala saya: apakah pikiran seperti ini dialami juga oleh semua orang? Apakah kita akan terus berulang merasakan hal seperti ini: melihat ke masa lalu dan ada unsur penyesalan dan kekesalan (tentunya terselip di antara kebahagiaan) karena melihat diri kita di masa lalu? Apakah di usia 30 saya akan melihat diri saya di usia 24 dan berpikir sama seperti sekarang? Apakah saat saya 50 tahun juga akan begitu?
Ujung dari pertanyaan-pertanyaan itu: tentunya saya boleh dong punya pikiran seperti itu. Tidak perlu disangkal bahwa sebagai manusia kita terus berupaya untuk menjadi diri kita yang terbaik. Mungkin ada momen-momen tertentu dalam hidup kita yang akan kita sesali, tapi ada juga yang kita syukuri. Meskipun ada bagian yang membuat kita kesal karena mengingatkan bahwa dulu kita perlu berbuat bodoh sepert itu, kan kita bukan lagi pribadi yang sama dengan kita yang dulu? Artinya: kita sudah lebih baik dari diri kita yang dulu.
Ini ada parafrase dari ucapan Louie CK yang rasanya pas untuk pemikiran di atas:
If you can look back at your life and realize that everything you have ever done was completely stupid, that’s good, that means you are getting smarter as you get older. If you look back at your life and have no regrets, it’s because you have stayed stupid.