Ombak

Tiap orang punya kebutuhan untuk terhubung dengan orang lain. Kalimat basi yang sering banget ditulis di skripsi ilmu sosial: “manusia adalah makhluk sosial…”, lalu setelah itu entah deh kalimat berikutnya nyambung atau tidak. Secara evolusi juga kita memang terdorong untuk hidup berkelompok biar nggak gampang tewas dimakan binatang buas, nggak mati kelaparan, dan juga biar bisa punya keturunan.

Kembali ke tentang kebutuhan untuk terhubung dengan orang lain tadi, tiap orang punya kadar kebutuhan yang berbeda untuk hal tersebut. Ada yang tinggi, ada yang rendah. Ada yang cenderung lebih suka bergaul dengan banyak orang, kenal dengan si ini dan si itu, tiap ketemu orang baru akan diajak kenalan dan ngobrol. Sebaliknya, ada yang lebih suka interaksi yang jumlahnya terbatas, dekat, dan personal.

Yang satu ikatan emosinya lebih dangkal karena dia terhubung ke banyak orang sekaligus, sementara yang satunya lebih intens karena difokuskan ke beberapa orang saja. Perbedaan ini justru menjadikan diri tiap orang berbeda dan unik, jadi tidak ada yang sifatnya “lebih bagus” daripada yang lain.

Tapi dalam postingan ini saya mau membahas kelompok yang pertama saja supaya tidak terlalu panjang.

Bayangkan kondisi ini: Si A di awal kuliah dekat dengan si B, C, D, E, F, G, H, I, dan J. Pergi ke mana-mana selalu bersama, tidak lupa foto bareng dengan tagline “BFF!” (Best Friends Forever). Eh, ternyata di tahun terakhir kuliah mereka tidak semuanya saling bicara lagi, malah pergi ke mana-mana dengan kelompok lain (atau membentuk kelompok pecahan), dan… tidak lupa foto bareng dengan tagline “BFF!” (tentunya dengan si kelompok baru ini).

Variasi “BFF” ya bisa “besties”, “sistas”, “fam”, atau semacam itu lah.

Jadi, hubungan itu sifatnya tidak selalu menetap. Nggak seperti matahari yang pasti selalu terbit di Timur setiap pagi, hubungan antar manusia itu lebih mirip ombak. Ada pasang dan surut. Misalnya, perlahan-lahan suatu hubungan semakin surut (soalnya sudah selesai kuliah dan ga sekelas lagi sehingga jadi jarang bertemu), lalu kemudian terjadi pasang karena suatu hal (acara reuni, kebetulan bertemu, ada yang ulang tahun, atau hal-hal lain), lalu setelah itu surut kembali.

Perumpamaan ombak ini juga bisa digunakan untuk hubungan yang lebih intim. Bahasa Facebooknya sih, untuk yang lagi in relationship. Hubungan ini nggak selalu dalam kondisi pasang, tapi bisa juga terjadi kondisi surut. Kalau sedang pasang? Kayak udah masuk surga kali ya. Sementara dalam kondisi surut, sebaliknya… dunia terasa seperti siksa neraka yang keji.

Dalam suatu hubungan yang akan berakhir, prosesnya bisa terjadi lewat kejadian pasang-surut-pasang-surut juga. Tadinya sudah suruuuuut, eh terjadi suatu peristiwa sehingga kondisinya pasang lagi. Tapi setelah itu terjadi kondisi surut lagi. Begitu seterusnya, sampai benar-benar putus. Tidak seperti sebuah amputasi yang langsung memutuskan begitu saja, yang tidak terjadi perlahan-lahan.

Tapi perumpamaan ombak ini lebih menyakitkan, apalagi kalau hanya satu pihak yang merasa sedang berada dalam kondisi pasang ke surut. Dia terseret sendirian perlahan-lahan ke tengah laut, sementara yang satunya diam di pantai sembari seseorang yang lain menghampirinya lewat dorongan arus pasang.

Iklan

Satu tanggapan untuk “Ombak

  1. Analogi ombaknya keren πŸ™‚
    awal2 masuk kuliah dulu saya juga memiliki sekumpulan teman yg beranggotakan 12 orang, yang kemana2 selalu bareng, dan mngerjakan sesuatunya bersama2. Bahkan kami punya nama panggilan masing2 tuk menyebut teman kami itu. Seiring berjalan waktu, group kami bertebaran kemana2, dan menyisahkan bberapa orang saja. Makin kesini makin beda kepentingan, sehingga hanya meninggalkan orang2 yg seide dan sepaham ma kita saja..

    nice artikel..
    salam kenal πŸ˜€

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s