Bayangkan situasi ini: di sebuah sirkus, seekor anak gajah dirantai kakinya dan dipasangkan pada sebuah pasak. Sekuat apapun dia menarik rantai, dia tetap tidak bisa melepaskan diri karena ikatan rantai di pasak itu terlalu kuat untuk seekor gajah kecil. Hal ini terus terjadi selama masa kecilnya, sehingga pada suatu hari, dia memutuskan untuk berhenti mencoba berusaha menarik rantai tersebut. Setelah itu dia tumbuh menjadi gajah yang besar, tapi dia tidak pernah lagi mencoba menarik rantai itu. Karena di dalam pikirannya, dia tahu itu percuma. Bahkan saat rantainya tidak dipasang ke pasak, dia tidak akan mencoba lari. Buat apa buang-buang tenaga?
Pernah diadakan sebuah eksperimen dalam ilmu psikologi yang melibatkan seekor tikus yang berada di dalam kandang kecil yang terkadang lantainya dialiri listrik. Di awal eksperimen, saat listrik dinyalakan, tikus itu akan berusaha lari untuk mencari lantai yang tidak dialiri listrik (tapi semua lantainya ada listrik). Setelah beberapa kali diadakan trial oleh si peneliti, lama kelamaan tikus itu berhenti berusaha. Saat lantai dialiri listrik, dia akan diam saja dan menerima setrum itu. Percuma saja lari, pasti kena setrum juga. Bahkan saat pintu kandangnya dibuka, dia tidak akan mencoba lari, tapi lebih memilih diam dan pasrah menerima aliran listrik. Buat apa buang-buang tenaga?
Dalam ilmu psikologi, kondisi ini disebut dengan learned helplessness. Ketidakberdayaan yang diperoleh dari hasil belajar. Ada kecenderungan bahwa orang-orang yang depresi klinis atau gangguan mental terkait lainnya berpikir bahwa apapun yang dia lakukan, kondisinya tidak akan kunjung membaik. Dalam kondisi seperti ini, di saat sebenarnya orang itu bisa memperbaiki kondisinya, dia tidak akan berusaha melakukannya, sama seperti gajah dan tikus pada contoh di atas.
Dalam peristiwa seperti ini, nampaknya melawan diri sendiri (pikiran bahwa kita tidak berdaya) bisa lebih sulit daripada mengatasi lingkungan kita. Saat kita dikuasai oleh learned helplessness, kita akan selalu dirundung pikiran negatif, sehingga pikiran ini malah mempersulit kita dalam mengatasi masalah hidup.
Berpikir positif, serba optimis, dan tampil ceria tentu tidak akan otomatis tahu-tahu membuat masalah kita selesai begitu saja. Tapi tenggelam dalam pikiran negatif apalagi keputusasaan akan membuat kita terus terpuruk, dan mungkin kita tidak bisa melihat kapan rantai kita tidak dipasang ke pasak atau kapan pintu kandang itu terbuka. Oleh karena itu, kita perlu berusaha untuk berpikir realistik.
Bukan serba positif dan menyangkal hal-hal negatif, tapi realistik. Berusaha sebisa mungkin agar sesuai dengan apa adanya kenyataan.
(ini belum tentu mudah bagi setiap orang. Bahkan, ada psikoterapi khusus yang fokus melatih klien untuk berpikir realistik)