Kapan terakhir kali kalian mendengar atau membaca nama Dubois dan Koenigswald? Mungkin waktu SMA, saat kalian (terpaksa) membaca buku teks sejarah, di bab yang membahas masa pra-sejarah. Eugène Dubois dan Ralph von Koenigswald adalah tokoh yang menemukan fosil-fosil yang dianggap sebagai nenek moyang (tapi agak jauh) dari Homo sapiens.
Dalam buku teks sejarah, nama mereka mungkin hanya ditulis satu kali. Itu juga hanya ditulis satu baris. Memang tidak sepenuhnya keliru jika dikatakan bahwa pendidikan sejarah di SMA merupakan reduksi dari ilmu sejarah karena siswa hanya menghafalkan tanggal dan nama. Di balik hafalan, sebenarnya banyak cerita-cerita menarik yang sebenarnya bisa membuat orang lebih suka untuk mempelajari sejarah. Berikut ini akan saya ceritakan sedikit kisah tentang dua tokoh tersebut yang sebenarnya cukup menarik, tetapi tidak pernah dibahas di ruang kelas.
Eugène Dubois adalah penemu Pithecanthropus erectus, alias Java Man, alias Homo erectus. Pada saat dia membawa hasil temuannya kembali ke benua Eropa, ternyata kalangan akademis tidak memberikan reaksi yang memuaskan terhadap temuannya. Oleh karena itu, dia meminta bantuan seorang anatomis terkenal, Gustav Schwalbe, untuk membantu membahas temuannya tersebut. Di luar dugaan Dubois, ternyata pembahasan Schwalbe bukan cuma diterima dengan hangat di kalangan akademis, temuan Dubois ini seolah-olah dianggap sebagai temuan Schwalbe, yang diminta untuk menjadi dosen tamu di berbagai acara ilmiah. Hal ini membuat Dubois marah hingga dia mengasingkan diri dari dunia antropologi (lalu dia menjadi dosen geologi di sebuah universitas), dan sampai akhir hayatnya dia masih tetap merasa kecewa berat.
Ralph von Koenigswald merupakan penemu dari Homo soloensis, alias Homo erectus (juga). Saat itu Indonesia masih menjadi koloni dari Belanda, dan sebutannya adalah East Indies. Untuk mempercepat proses penggalian tulang, Koenigswald bilang ke penduduk pribumi bahwa dia akan memberikan 10 sen untuk setiap tulang yang ditemukan dan dibawa ke hadapannya. Saat itu dia tidak sadar bahwa ucapan itu justru malah bersifat merusak, karena penduduk pribumi langsung (dengan penuh semangat) menghancurkan semua tulang yang mereka temukan menjadi berkeping-keping agar mereka memperoleh uang sebanyak mungkin 😀