Oppenheimer dan Bhagavad Gita

“If the radiance of a thousand suns were to burst at once into the sky, that would be like the splendor of the mighty one… I am become Death, the destroyer of worlds.” 

Dalam babak akhir Perang Dunia II, salah satu faktor yang memicu berakhirnya perang adalah bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki. Bom atom tersebut diciptakan oleh seorang ahli fisika: J. Robert Oppenheimer. Dia merupakan bagian dari Manhattan Project, program R&D pemerintah Amerika yang bertujuan untuk mengembangkan teknologi bom atom.

Einstein dan Oppenheimer

Sebelum bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, tentu saja bom tersebut perlu diuji terlebih dahulu. Ledakan bom atom pertama kali di dunia dilakukan dalam kegiatan yang punya code name Trinity. Saat Oppenheimer menyaksikan ledakan bom atom itu, kalimat kutipan di atas terlintas dalam pikirannya.

Arjuna dan Krishna

Darimana asal-usul kutipan tersebut?

Asalnya dari Bhagavad Gita, sebuah kitab berisi percakapan antara Arjuna dan Krishna (yang merupakan jelmaan dewa Wisnu). Bhagavad Gita sendiri merupakan bagian dari kisah Mahabharata. Jalan cerita Mahabharata sendiri sangat-sangat-sangat panjang, tapi inti ceritanya adalah kisah tentang konflik dua keluarga: Pandawa dan Kurawa. Sebenarnya kedua kelompok ini masih saling bersaudara (pokoknya ceritanya panjang deh), tetapi mereka memperebutkan kursi singgasana sebuah kerajaan yang mereka rasa adalah milik kelompok mereka secara sah.

Setelah cerita yang sangat-panjang-sekali, klimaks cerita ini adalah perang di Kurusetra. Arjuna, salah seorang Pandawa, melihat medan perang dan menyadari bahwa dia akan membantai saudaranya sendiri. Nah kira-kira inilah awal dari Bhagavad Gita, yang dimulai dari kegundahan dan keresahan Arjuna (saya nggak mau pakai kata galau) dalam dilema yang dihadapinya. Nah, rekan berkuda Arjuna adalah Krishna, yang sebenarnya merupakan penjelmaan dari dewa Wisnu.

Dalam kepercayaan Hindu, dikisahkan bahwa terdapat banyak dewa, tapi terdapat 3 dewa utama: Brahma-Shiwa-Wisnu. Terkadang mereka mengambil wujud manusia (disebut dengan Avatar dalam bahasa Sansekerta). Dikisahkan bahwa dewa Wisnu sudah memiliki 12 wujud, dan Krishna adalah wujud ke-12. Penjelasan tentang kenapa Krishna (alias dewa Wisnu) bisa ada di sana juga ceritanya sangat-panjang-sekali.

Wujud asli Krishna (Wisnu)

Kembali ke Arjuna, dia meletakkan senjatanya dan bersumpah untuk tidak membunuh saudaranya sendiri. Krishna berusaha membujuk Arjuna lewat salah satu nilai yang penting dalam filosofi Hindu: lakukanlah apa yang menjadi bagian tugasmu. Dia menjelaskan kenapa perang ini harus terjadi, kenapa Arjuna harus ikut dalam perang, dan seterusnya. Semakin lama, Krishna semakin banyak memberi petunjuk tentang dirinya (yang merupakan jelmaan dewa) dan pada akhirnya (sesuai permintaan Arjuna) menunjukkan wujud aslinya kepada Arjuna, sebagai dewa Wisnu.

Salah satu terjemahan kalimat pada momen itu terjadi (versi Ryder)

A thousand simultaneous suns
Arising in the sky
Might equal that great radiance,
With that great glory vie. (11:12)
 

Reaksi Arjuna:

Amazement entered him; his hair
Rose up; he bowed his head;
He humbly lifted folded hands,
And worshipped God. . . . (11:14)

Lalu Krishna menjelaskan pada Arjuna kenapa dia ada di tempat itu:

Death am I, and my present task
Destruction. (11:32)
 

Terkadang diterjemahkan juga menjadi:

I am become Death, the shatterer of Worlds. 
atau

I am become Death, the destroyer of Worlds.

Terus, apa pentingnya kalimat atau kisah Bhagavad Gita itu dan apa kaitannya dengan Oppenheimer? Yang jelas, inti dari kalimat itu (dan juga Bhagavad Gita) cukup dalam, yaitu tentang tugas, takdir, dan pemenuhan tujuan hidup. Arjuna adalah kasta Ksatria, dan tugas mereka adalah bertarung. Kasta Brahmana punya tugas yang lain, begitu juga kasta lainnya. Demikian juga dengan dewa Wisnu, yang berada di sana sebagai pembawa kematian, karena perang tersebut sudah ditakdirkan. (Tiga dewa Brahma-Shiwa-Wisnu adalah 3 tapi juga 1… penjelasan filosofisnya cukup panjang).

Barangkali kita tidak bisa langsung memahaminya, karena tulisan jaman dahulu berbeda dengan tulisan jaman sekarang yang ‘serba terang benderang’ (harus konkrit, harus jelas, dan seterusnya). Bahasa jaman dahulu penuh dengan kiasan dan makna tersembunyi, sehingga kita (yang hidup di masa kini) seringkali tidak bisa tuntas memahami pola pikir orang-orang yang hidup di jaman lalu.

Kenapa Oppenheimer mengucapkan kalimat itu? Pertama-tama, cukup tepat juga melihat bahwa dia mengucapkan itu pada saat dia telah menciptakan kekuatan mengerikan di dunia ini. Tapi ada makna lebih mendalam.

Oppenheimer merupakan seorang pacifist.

Kenapa seorang pacifist malah menciptakan senjata perang paling mengerikan yang pernah diciptakan manusia?

Karena dia seorang ilmuwan, dan dia merasa itu merupakan tugasnya untuk menciptakan teknologi baru (dia juga percaya bahwa dengan menciptakan bom atom, dia bisa menghentikan perang lebih cepat dan mengurangi jumlah korban jiwa). Jika membaca sejarah hidupnya, filosofi Hindu punya peran besar dalam hidup Oppenheimer. Kutipan Oppenheimer, “I am become Death, the destroyer of worldsbukan merujuk ke dirinya sendiri. Dia justru mengatakan itu karena dia melihat Dewa yang sedang menampakkan dirinya, menjadi pembawa kehancuran bagi umat manusia.

Dalam surat-surat yang dikirimkan oleh Oppenheimer ke berbagai pihak, dia seringkali mengucapkan rasa syukur karena dia bukan bagian eksekutif dari pemerintah, yang tugasnya adalah menentukan apakah bom itu dikirim atau tidak, dan juga bukan tentara, yang tugasnya adalah maju ke medan perang untuk menjatuhkan bom tersebut. Secara keseluruhan, Oppenheimer merupakan individu yang menarik karena merupakan gambaran manusia yang kompleks, mengalami banyak rintangan hidup, dan juga ikut mengalami pergulatan batin baik selama hidupnya maupun saat menciptakan bom atom. Saya rasa setiap orang yang kita temui setiap hari juga sama kompleksnya; mereka mengalami rintangannya masing-masing, dan bergulat dengan kondisi batinnya dalam menghadapi dilema demi dilema. Ini salah satu sebab kenapa saya suka mempelajari ilmu psikologi.

Kisah Mahabharata merupakan salah satu bacaan wajib untuk memperkaya pemikiran kita, begitu juga dengan Bhagavad Gita yang banyak berisi kalimat-kalimat yang dapat kita renungkan. Meskipun ini merupakan bagian dari filosofi Hindu, saya rasa tidak ada salahnya kita mempelajari ini, jangan membatasi diri kita hanya sebatas label agama yang diberikan oleh orang lain (atau diri kita sendiri) terhadap perkembangan diri kita. Saya sendiri bukan penganut agama Hindu, jadi mohon maaf kalau ada kekeliruan maupun kesalahan dalam menginterpretasi.

Sumber: Hijiya, James. The Gita of J. Robert Oppenheimer. Kalau tertarik, kalian bisa mengakses bacaan menarik ini di http://www.amphilsoc.org/sites/default/files/Hijiya.pdf
Sumber gambar: Wikipedia laman masing-masing artikel


Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s