Disclaimer: saya bukan orang yang bekerja di dunia jurnalistik.
Tapi, saya mempelajari teknik wawancara sewaktu masih kuliah 😀 Wawancara (jika digunakan dengan tujuan dan teknik tertentu) merupakan alat psikodiagnostik yang cukup kuat. Banyak sekali ‘data’ dari berbagai sumber data yang bisa kita cross-check lewat metode wawancara. Setidaknya, itu yang dulu saya pelajari di kampus.
Wawancara tentu sebaiknya dilakukan secara langsung. Jadi, si interviewer bisa melakukan banyak penggalian informasi jika ada hal yang ingin ditelusuri lebih dalam, atau melakukan konfrontasi jika interviewee menyampaikan informasi yang sifatnya kontradiktif. Dalam proses wawancara, perilaku atau sikap yang ditunjukkan oleh interviewer juga bisa mempengaruhi respon narasumbernya.
Kemarin ini saya mendengar sesuatu yang lucu dari H dalam sebuah pertemuan: beberapa wartawan atau jurnalis sekarang ini suka melakukan wawancara lewat email, dan email itu isinya hanya berisi (banyak sekali) daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh si narasumber alias penerima email. Waktu itu si H berkata “ya sekalian aja gua yang bikin reportasenya kalau gitu!“.
Kalau perlu sih sekalian fee-nya ditransfer dari surat kabar tersebut ya, lumayan tuh 😀
Meskipun email merupakan inovasi dalam dunia teknologi informasi, tetap saja teknologi tersebut bisa digunakan dan dimaknakan secara berlainan oleh tiap orang. Saya sendiri sih merasa wawancara lewat email itu agak malesin juga, apalagi kalau isinya hanya (banyak sekali) daftar pertanyaan. Saya yakin tetap ada orang-orang yang akan menanggapi wawancara lewat email karena mereka membutuhkan exposure lewat media massa, tapi kalau relasinya sudah seperti itu, kok jadi terkesan janggal. Sudah jadi tugas dari jurnalis untuk mengejar dan menulis berita (you get paid to do that, right?), dan (menurut saya) bukan tugas narasumber untuk mengejar exposure media massa.