I’ve always been against organized religions, it so contradicts logic. If you believe in God, and believe in afterlife, what does it say about the other irrational beliefs? You come to believe in heaven and angels and hell and Satan and aliens, all sort of things which have no evidence, so I prefer to live in a rational world. Religion may bring comfort to people, but eventually it will bring us all down.
– Irvin D. Yalom
Kutipan di atas diucapkan oleh Irvin D. Yalom. Kalau kalian belajar psikoterapi dan konseling, mungkin kalian pernah melihat nama tokoh ini disebut beberapa kali. Irvin D. Yalom ini merupakan seorang penulis buku fiksi dan non-fiksi yang cukup terkenal di bidang psikologi. Selain menjadi seorang penulis, dia juga seorang praktisi psikoterapi dengan pengalaman puluhan tahun dan juga seorang Emeritus Professor di Stanford University. Amazing, eh? Jadi dari latar belakangnya, Irvin D. Yalom ini bukan orang sembarangan.
Sebagai seorang eksistensialis, pemikirannya sangat rasional dan cukup berbeda dengan kebanyakan psikolog di Indonesia. Tidak banyak psikolog di Indonesia yang merupakan seorang eksistensialis, bahkan cukup banyak yang mengaburkan batas antara psikologi dan teologi (ada juga yang mirip motivator dan sering sekali mengucapkan kata-kata yang sangat abstrak). Padahal seorang mahasiswa psikologi harusnya bisa menyadari bahwa “percaya terhadap Tuhan yang didefinisikan dalam agama mereka” itu tidak lebih normal dibandingkan dengan apa yang dipercayai oleh pasien di rumah sakit jiwa. Tapi kenapa ini tidak terjadi? Apakah karena kurangnya role model yang menjelaskan bagaimana pandangan psikologi terhadap agama? Atau karena agama merupakan hasil indoktrinasi dari masa kecil yang tidak bisa lagi dilepaskan dari identitas diri kita?
4 tanggapan untuk “Yalom”