Kemarin saya membaca ulang sebuah blog teman SMA dan menemukan kalimat yang menarik:
Gue masuk SMP yang katanya dulu itu sekolah nomor satu di Bandung. Sampe sekarang, kalau ditanya sekolah di mana terus gue sebutkan nama sekolahnya, si tante atau om yang nanya pasti bilang, “Ooh disana? Pinter atuh ya kamu teh”. Nah kan? Tapi ternyata disebut pinter perjuangannya berat, kaya bawa ee setruk tronton deh. Gila. Banget. Karena UAS nya susah. Gue ulang, UAS NYA SUSAH.
[…]
Memasuki masa kuliah, nggak ada lagi om-tante yang ngomong “Oh pinter atuh ya kamu teh” saat gue menyebutkan institusi perkuliahan gue. Apa karena kampus gue terkenal banyak ayam dan mahasiswa borju??
– KF
Wah, saya merasakan hal itu juga! (iyalah ya… soalnya kita satu SMP/SMA dan kuliah di universitas yang sama, kita sebut saja Universitas X). Memang sangat terasa sekali perbedaan antara SMP/SMA dengan saat saya kuliah. Misalnya dari tingkat kesulitannya. SMP/SMA saya memang sangat susah, beda sekali dengan Universitas X. Di Universitas X, saya bisa memperoleh nilai A – B+ – B tanpa perlu belajar mati-matian seperti waktu SMP/SMA. Ujian pun paling banyak hanya 2 mata kuliah sehari, dan yang satu lagi pasti mata kuliah pilihan. Dari tipe orang-orangnya pun sangat berbeda, di sini saya banyak sekali menemukan orang-orang yang tidak mengoptimalkan potensi yang mereka miliki. Mungkin mereka berada di tempat yang salah…
Tentu saja tidak semuanya seperti itu, ada juga sekumpulan orang yang punya motivasi tinggi, kemampuan yang hebat, dan kesempatan yang luas. Tapi itu di tingkat I, waktu saya semester I dan II. Seiring dengan berjalannya kuliah, orang-orang yang seperti itu malah jadi semakin sedikit. Saat saya ada di tingkat IV, banyak teman-teman kuliah yang seperti sudah “kehabisan bahan bakar” dan malah menjadi males banget. Ada yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan yang kurang berguna. Ada juga yang jadi seolah kehilangan arah hidup.
Kenapa ya? Ada buanyak penjelasan untuk fenomena ini, tapi saya akan bahas satu saja. Salah satu penjelasan tentang fenomena ini mungkin adalah pengaruh dari lingkungan yang tidak punya ekspektasi akan keprimaan (excellence).
Be a yardstick of quality. Some people aren’t used to an environment where excellence is expected.
– Steve Jobs
Dalam Psikologi Pendidikan, ada istilah “Pygmallion Effect”. Sebenarnya ini merupakan temuan seorang psikolog bernama Robert Rosenthal, tapi istilah Pygmallion Effect lebih banyak dikenal dibandingkan Rosenthal Effect. Pygmallion adalah nama seorang pemahat dalam kisah mitologi Yunani.
Alkisah, Pygmallion bersumpah untuk tidak lagi tertarik pada wanita setelah dia melihat banyak wanita di kota Propoetides melacurkan diri mereka. Oleh karena itu, dia memahat sendiri patung wanita yang ideal menurut dirinya. Karena kemampuan memahatnya yang sangat hebat, patung tersebut sangat cantik dan realistik sehingga Pygmallion jatuh cinta pada patungnya sendiri. Oleh karena itu, Pygmallion memohon kepada Dewi Venus dan terus-menerus memberikan persembahan di altar agar sang Dewi mengabulkan keinginannya untuk mengubah patung tersebut menjadi wanita sungguhan.
Inti dari cerita dan konsep Pygmallion Effect adalah: ekspektasi kita terhadap suatu hal bisa berpengaruh terhadap pembentukan realita. Dalam penelitian Rosenthal, ada sekelompok guru yang diberitahu bahwa mereka sedang mengajar anak-anak jenius (padahal siswanya hanya rata-rata saja). Karena mereka memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap siswanya, maka mereka memperlakukan anak-anak tersebut seolah-olah mereka memang jenius… dan pada akhirnya, anak-anak ini justru memiliki prestasi akademik yang lebih tinggi. Mengherankan ya?
Apa hubungannya dengan fenomena sebelumnya? Nah, waktu saya SMP/SMA, seluruh guru-gurunya memiliki ekspektasi bahwa siswanya adalah siswa yang pintar… iya lah pintar, soalnya lulus tes seleksi yang ketat. Karena ekspektasi yang tinggi, mereka menerapkan disiplin yang keras, pelajaran yang sulit, tugas-tugas yang berat, dan lain-lain. Ini memang berat, tapi siswa yang diekspektasi “mampu” oleh gurunya akan berusaha untuk memenuhi ekspektasi tersebut (well, nggak semua sih… ada aja yang tercecer).
Sebaliknya, di Universitas X yang seleksi masuknya sangat ringan (cukup bawa uang), ekspektasi para pengajar tentu tidak terlalu tinggi. Perbedaan ekspektasi seperti inilah yang turut membentuk sikap mahasiswa di universitas X. Seandainya ada ekspektasi yang lebih tinggi terhadap mahasiswa universitas X, mungkin para pengajar akan menerapkan standar yang lebih tinggi, aturan yang lebih ketat, dan lebih niat dalam membentuk karakter mahasiswanya. Tapi kenyataannya sih… kayaknya dosen-dosen (nggak semua sih) di Universitas X nggak terlalu berharap banyak sama mahasiswanya. Bisa lulus kuliah aja udah bagus banget kayaknya, ha..ha… makanya mahasiswanya juga hanya berusaha sekadarnya saja.