Postingan kali ini agak kontroversial (sebenarnya saya sering berceloteh hal-hal yang kontroversial sih). Bukan hanya karena saya menyentuh topik yang sebenarnya agak tabu untuk dibahas, tapi juga karena (bagi beberapa orang yang mengenal persona saya di dunia akademik) saya mendeskripsikan orang-orang tertentu dengan cukup spesifik sehingga pasti pembaca akan tahu siapa yang saya maksud.
Kemarin ada teman kuliah yang membahas tentang orang yang membongkar berbagai alat tes psikologi di forum diskusi internet terbesar di Indonesia. Selidik punya selidik, ternyata orang ini sudah berkali-kali gagal dalam seleksi Astra sebagai Auditor. Astra merupakan perusahaan yang banyak diminati dan dikagumi para pencari kerja di Indonesia (menurut survei Wall Street Journal Asia, Astra ada di urutan pertama, melebihi Unilever!), sehingga tentu saja seleksi berlapisnya sangat ketat. Dia pernah gagal di medical check up, sehingga dia juga menjelek-jelekkan profesi dokter. Tapi intinya dia sangat dengki dengan psikotes.
Tentu saja reply dari anggota forum tersebut sangat ramai. Reply yang ‘pro’ menggambarkan bahwa banyak orang di Indonesia yang ingin ‘mengakali’ sistem yang telah dibuat dengan cara mencari ‘jalan rahasia’. Meskipun tentu saja sekarang yang menjadi penilaian utama dalam penerimaan karyawan adalah wawancara, simulasi, dan lain sebagainya (psikotes hanya untuk screening awal). Sistem seleksi berlapis dari Astra (dan juga kebanyakan perusahaan besar lainnya, terutama MNC) juga sangat bagus sehingga hampir tidak ada orang yang bisa lolos karena melakukan manipulasi. Mungkin teman-teman yang punya minat di PIO/HR dan sudah bekerja di MNC lebih paham tentang hal ini. Tapi bukan hal itu yang ingin saya bahas saat ini. Kasus pembocoran seperti ini mungkin terjadi karena dia memiliki teman di fakultas Psikologi yang ikut membantu membocorkan bagaimana cara kerja psikotes yang banyak digunakan dalam konteks Industri dan Organisasi. Dengan kata lain, ada lulusan psikologi yang tidak memiliki integritas. Ada banyak sekali definisi integritas, jadi saya akan menggunakan definisi sederhananya saja: integritas adalah bertindak konsisten sesuai tuntutan peran dan kode etik profesi, baik saat disupervisi maupun dalam kesendirian. Di fakultas Psikologi, berkali-kali mahasiswa psikologi diberikan penekanan mengenai kejujuran dan integritas dalam mengaplikasikan ilmu psikologi. Dalam mata kuliah Kode Etik (baik pengantar maupun ‘pemungkas’ :P), dijelaskan bahwa salah satu dari 5 prinsip umum Kode Etik Psikologi adalah Integritas. Karena psikotes dalam konteks Industri dan Organisasi merupakan applied psychology, maka mahasiswa psikologi yang membocorkan psikotes sudah tentu tidak lagi bisa dianggap memiliki integritas. Bukankah dalam buku Kode Etik tertulis bahwa kerahasiaan perlu dijaga?Ada seorang teman kuliah yang menurut penilaian saya tidak punya integritas. Penilaian ini sifatnya inter-subjektif, soalnya ternyata banyak juga teman-teman yang memberikan penilaian yang sama dengan saya terhadap orang ini. Dia masih belum lulus, tapi dia punya sebuah pekerjaan: mengerjakan laporan tugas mahasiswa lain. Tentu saja dia mengharapkan imbalan dari pekerjaan ini. Dalam tulisan ini, saya nggak berniat meng-‘out’-kan namanya, karena tidak ada bukti konkrit… jadi ujung-ujungnya nanti cuma my words vs their words.
Orang ini saya anggap nggak punya integritas karena justru mereka suka mencitrakan dirinya sebagai orang yang baik, perhatian sama temannya, dan juga disukai oleh influencer/dosen tertentu. Orang ini pernah ditegur oleh dosen (yang praktisi psikologi) bahwa dia tidak cocok menjadi psikolog. Mungkin dosen ini bisa melihat kepribadian orang tersebut (dan nampaknya memang akurat).
Nah, bermula dari orang-orang seperti inilah pembocoran psikotes bermula. Awalnya hanya membantu mengerjakan tugas teman. Lama-lama buka jasa mengerjakan tugas teman seangkatan. Terus meningkat jadi buka jasa mengerjakan laporan praktikum teman seangkatan dan angkatan bawah. Setelah itu? Bisa saja buka jasa memberitahu bocoran psikotes atau pelatihan manupulasi psikotes. Semuanya karena uang.
Saya nggak terlalu suka orang-orang yang money-driven, soalnya mereka adalah orang-orang yang integritasnya bisa dibeli; orang-orang yang menganggap bahwa jika semakin tinggi nilai nominal suatu hal, maka hal itu makin layak untuk dikerjakan. Itu sebuah value yang bertentangan dengan values saya. Tapi teman saya pernah mengkritik dan tidak setuju dengan pemikiran saya. Katanya, saya ini nggak pernah merasakan kondisi ‘nggak punya uang’, makanya bisa dengan mudah ‘menyepelekan pentingnya uang’. Wah, berarti teman saya ini menganggap orang-orang yang merasa nggak punya duit itu semuanya bisa dibeli dengan uang dong? Kan nggak seperti itu juga ya?
Salah satu akun Twitter yang saya follow adalah @mrshananto (Ligwina Hananto). Dia adalah seorang perencana keuangan yang populer karena dia sering muncul di berbagai talkshow, salah satunya di Hard Rock FM. Dia juga CEO dari QM Financial, perusahaan yang menawarkan jasa perencanaan keuangan. Nah, dia pernah mengatakan bahwa value nomor satu di perusahaannya adalah integritas. Saya sangat setuju dengan hal itu, apalagi setelah melihat kondisi yang saya amati sekarang. Jika saya membuka biro psikologi (and I planned to do this!), saya tidak akan pernah mengajak orang-orang yang tidak punya integritas untuk bergabung dengan saya.
If you are reading this, do you know who you are?