Green-Eyed Monster

O, beware, my lord, of jealousy; 
It is the green-eyed monster which doth mock 
The meat it feeds on…

— Iago, Othello

Saya kembali mendengar istilah ‘Green-Eyed Monster’ saat sedang menghadiri pertemuan Theosophical Society (waktu itu Fauziah yang mengajak saya). Pembicaranya adalah Matius Ali, pengajar di STF (belakangan saya mengetahui bahwa dia juga sudah membuat buku mengenai Filsafat India). Pertemuan itu lumayan menarik, meskipun ada beberapa hal yang masih saya tanggapi dengan skeptis. 

Masa sarjana S1 nggak ilmiah? 😛

Nah, saat sedang membahas tentang warna aura (no, I’m not a believer of this BS), dijelaskan tentang makna dari beberapa warna. Rupanya hijau pun bisa memiliki makna emosi negatif, yaitu kecemburuan (atau lebih tepatnya sih ‘Envy’). Pak Matius Ali menjelaskan lagi bahwa dalam karya Shakespeare, Othello & The Merchant of Venice, ungkapan ‘Green-Eyed Monster’ digunakan untuk menggambarkan rasa cemburu.

Dalam kisah Othello, tokoh Iago mengatakan hal tersebut karena dia cemburu terhadap Cassio, yang mendapatkan kenaikan pangkat dari Othello. Hal ini membuat Iago berusaha untuk membuat Othello merasakan hal yang sama dengan cara menyebarkan banyak informasi bohong mengenai istri Othello, yaitu Desdemona. Pada akhirnya, Iago berhasil membuat Othello cemburu terhadap istrinya… sehingga sekarang kita mengenal istilah ‘Othello Syndrome‘ di dunia psikiatri dan psikologi klinis. Istilah tersebut merujuk pada kondisi pasien yang memiliki delusi pikiran bahwa pasangan mereka tidak setia atau selingkuh, padahal sama sekali tidak terdapat bukti yang dapat mengkonfirmasi pikiran tersebut (ujung-ujungnya pasien akan melakukan stalking, sabotase, atau bahkan menggunakan kekerasan).

Istilah ‘Green-Eyed Monster‘ itu pun digunakan oleh Shakespeare untuk menggambarkan kucing. Kenapa? Sebab mereka suka mempermainkan tikus sebelum akhirnya membunuh mereka, sama seperti rasa cemburu yang tidak secara langsung membunuh kita… melainkan perlahan-lahan merusak, menghancurkan, dan di saat kita tidak bisa melakukan apa-apa lagi, barulah kita sadar bahwa kita telah ‘dibunuh’ oleh rasa cemburu.

Dalam ilmu psikologi, ‘cemburu’ adalah kombinasi dari beberapa emosi dasar, seperti marah, sedih, dan jijik (disgust). Mungkin ada emosi lain juga yang turut menjadi bagian dari rasa cemburu, tapi saya nggak hafal. Mungkin di textbook General Psychology karya Atkinson ada penjelasan pengantar yang lebih lengkap. Malah katanya ada psikolog yang berusaha membuat suatu model yang menjelaskan bagaimana proses cemburu dapat terjadi.

Sebagai manusia, tentu sangat sulit untuk menghindar dari cengkeraman ‘green-eyed monster’ ini. Apalagi kita adalah makhluk sosial yang menjalin relasi dengan sesama manusia. Saya rasa ‘cemburu’ ini merupakan fenomena global, jadi di budaya mana pun rasa cemburu akan selalu ada. Pikiran ‘kenapa bukan saya’ atau ‘kenapa kamu memilih dia’ pasti pernah terlintas dalam pikiran para pembaca. Termasuk saya 😛

Meskipun kita tidak bisa menghindar dari rasa cemburu, tapi kita masih bisa mengendalikannya. Biar bagaimanapun juga, faktor kognisi (pikiran) dapat mempengaruhi afeksi (perasaan). Istilah ‘green-eyed monster’ merupakan istilah yang sangat cocok untuk membantu kita melepaskan diri dari rasa cemburu…. jangan biarkan monster itu menggerogoti diri kita. Lepaskan saja keinginan kita untuk memiliki object/subject of desire kita, maka kita tidak akan dipermainkan oleh rasa cemburu… 

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s