Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan untuk diakui. Tiap orang tentu memiliki kadar yang berbeda-beda derajatnya untuk menentukan apakah kebutuhan tersebut sudah terpuaskan atau belum. Ada yang sudah merasa puas jika diakui oleh orang-orang terdekatnya saja, tapi ada juga orang yang merasa perlu untuk diakui oleh semua orang yang bahkan baru saja dia temui. Jika kebutuhan seseorang tidak terpenuhi oleh lingkungannya, maka kebutuhan ini tidak akan hilang… melainkan akan semakin menguat! Ini faktor penting yang dapat mempengaruhi bagaimana kita diterima dalam suatu lingkungan, sehingga biasanya beberapa perusahaan meminta assessor (pada proses screening karyawan baru) untuk mengukur hal ini 😀
Kemarin ini saya mendengar cerita lucu dari teman seangkatan saya. Sebelumnya, saya perlu sampaikan dulu bahwa saya kuliah di fakultas psikologi… dan ini fakultas gosip. Jangankan gosip teman seangkatan, cerita dari angkatan bungsu saja bisa dengan cepat sampai ke angkatan senior banget di hari yang sama! Apalagi sekarang sudah jamannya social media. Nah, cerita yang saya dengar ini merupakan cerita tentang 1 orang mahasiswi (sudah lulus dari tahun kemarin sih) yang nampaknya memiliki kebutuhan yang sangat kuat untuk diakui, untuk dipuji, dan dianggap hebat oleh lingkungannya.
Kata teman saya, ceritanya begini: orang tersebut diminta untuk memberikan sharing tentang pengalamannya kuliah di fakultas ini dalam salah satu rangkaian acara orientasi mahasiswa baru. Nah, di atas panggung tersebut… dia banyak melebih-lebihkan prestasi yang dia raih selama kuliah. Lulus Dengan Pujian? IPKnya akhirnya nggak sampai 3,5… jadi itu sudah jelas bohong. Ini jadi bahan tertawaan teman-teman angkatan saya karena bukan cuma sekali ini saja dia ‘mencitrakan’ dirinya sebagai orang yang sukses. Sebelumnya dia pernah berbohong mengenai cita-cita, tahun kelahiran, kuliah di luar negeri, pekerjaan, dan lain-lain. Saya yakin dia tidak bermaksud melukai orang lain dengan kebohongannya; dia melakukan hal ini untuk memenuhi kebutuhannya… untuk diakui, dipuji, dianggap berhasil.
Sebetulnya kalau kita mau berpikir positif, ini merupakan win-win condition untuk semua pihak. Teman-teman angkatan saya merasa terhibur oleh lawakan berupa kebohongan baru ini, mahasiswa baru (mungkin) merasa terinspirasi, dan dia memperoleh kepuasan ego.
Saya nggak mau berkomentar terlalu banyak tentang hal ini, karena informasi yang saya dapat hanyalah informasi ‘second hand’. Saya nggak hadir secara langsung pada saat acara sharing itu, tapi orang-orang yang menjadi sumber data saya adalah orang-orang yang dekat dengan orang tersebut selama setidaknya 2-3 tahun.
Salah satu teman saya menutup lawakan ini dengan bijak: kita sebaiknya bersyukur dengan apa yang sudah kita miliki, sembari terus berusaha untuk lebih berkembang ke arah yang kita inginkan secara realistis. Kalau kita melakukan berbagai hal hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan untuk diakui oleh lingkungan, lama-lama kita bukannya mengembangkan pribadi kita, tapi bisa-bisa jadi delusional (:P) seperti kakak senior yang menjadi bahan tertawaan kita ini…
Sumber gambar: