Kemarin, tanggal 6 Juni 2011, banyak orang-orang yang heboh di dunia twitter karena dikirimin peti mati. Lebih spesifiknya, orang-orang tersebut adalah orang-orang yang ‘terkenal’ di dunia media atau banyak followernya di dunia Twitter. Setelah diselidiki, ternyata itu merupakan viral marketing strategy dari perusahaan Buzz & Co., perusahaan konsultasi pemasaran yang baru berdiri tiga hari. Ternyata itu juga merupakan strategi pemasaran buku yang akan segera diterbitkan (judulnya Rest-In-Peace Avertising?)
Yang jelas, metode marketing ini backfire abis-abisan karena benda yang dikirimkannya adalah peti mati. Siapa sih yang suka diingatkan akan kematian? Lebih bodoh lagi, ada orang yang dikirimin peti mati dan memang sedang berkabung! Ini sih pengirimnya bodoh sebodoh-bodohnya!
Berikut ini kutipan salah satu beritanya dari KOMPAS.com:
Peti Mati untuk Ciptakan “Word of Mouth”
KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO Anggota polisi menangkap CEO Buzz & Co, Sumardy (kiri) pengirim paket peti mati ke sejumlah media di Senayan Trade Center, Jakarta, Senin (6/6/2011). Paket peti mati yang sempat menggemparkan karena dikirim ke beberapa media di Jakarta tersebut merupakan salah satu strategi promosi dalam rangka peluncuran buku berjudul Rest In Peace Advertising: The Word of Mouth Advertising karya CEO Buzz & Co, Sumardy.
JAKARTA, KOMPAS.com — Motif di balik pengiriman peti jenazah ke sejumlah media massa dan perusahaan iklan akhirnya terungkap. Pengirim peti jenazah itu adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang komunikasi dan periklanan, Buzz & Co.


CEO Buzz & Co, Sumardy, mengungkapkan bahwa perusahaannya sengaja merencanakan pengiriman peti jenazah itu untuk menciptakan efek word of mouth (WoM) sebagai salah satu bentuk strategi marketing. “Ini semata-mata hanya untuk kreativitas dalam beriklan karena kreativitas periklanan sekarang sudah mulai mati,” ujar Sumardy, Senin (6/6/2011), saat dijumpai di kantor Buzz & Co yang terletak di Senayan Trade Center (STC), lantai 3.
Sumardy mengaku bahwa hal ini dilakukan atas inisiatif sendiri tanpa ada unsur politik yang melatarinya. Ia pun merencanakan bahwa ada sekitar 100 destinasi yang akan dikirimi paket peti mati. Dari jumlah itu, 10 persennya merupakan media yang dia nilai terkenal. Sisanya, paket peti mati dikirimkan kepada perusahaan iklan, pemilik, dan tokoh komunikasi pemasaran.
Lebih lanjut, Sumardy membenarkan bahwa cara ini ditempuhnya dalam rangka peluncuran buku karangannya yang berjudul Rest In Peace Advertising: The Word of Mouth Advertising terbitan PT Gramedia Pustaka Utama.
Menurut dia, strategi kampanye pemasaran yang dilakukan perusahaan saat ini sangat membosankan. Alhasil, ia pun terpikir ide gila ini. “Biaya beli peti mati lebih murah, ketimbang pasang iklan,” kata Sumardy.
Ia mengungkapkan bahwa biaya yang diperlukan untuk membuat peti mati yang dibeli di Pondok Labu plus ditambah ongkos kirim hanya menghabiskan sekitar Rp 50 juta. Sementara untuk pasang iklan bisa menghabiskan miliaran rupiah. Strategi ini, diakuinya, sebagai bentuk edukasi pemasaran. “Iklan sekarang hanya meniru. Konsumen harus diapresiasi dengan iklan yang tidak membosankan,” tuturnya.