Resensi buku Jurang di antara Kita – Mega Hidayati

Jurang di Antara Kita: Tentang Keterbatasan Manusia dan Problema Dialog Dalam Masyarakat MultikulturJurang di Antara Kita: Tentang Keterbatasan Manusia dan Problema Dialog Dalam Masyarakat Multikultur by Mega Hidayati

My rating: 2 of 5 stars

Saya membeli buku ini saat menghadiri pameran buku di Landmark Braga, Bandung, tahun 2010 yang lalu. Saat itu kondisi Indonesia kembali panas oleh konflik yang dilandasi oleh perbedaan agama dan etnis, sehingga saya merasa terdorong untuk mengambil buku ini. Setelah saya membeli dan membawa buku ini ke rumah, ternyata buku ini diterbitkan tahun 2008… sudahlah, tak apa-apa, pikir saya. Harganya juga tidak terlalu mahal, kalau tidak salah nggak sampai 25ribu rupiah (soalnya harga pameran).

Buku yang berukuran cukup kecil dan tipis ini terdiri dari 5 bab utama. Bab pertamanya seperti Pendahuluan, dan bab terakhir diberi judul “Penutup”. Hal ini membuat saya berpikir, jangan-jangan ini adalah tesis S-2 yang dijadikan buku oleh penulis atas saran dosen pembimbingnya. Nggak ada yang salah dengan hal tersebut sih, justru itu merupakan tindakan yang masuk akal daripada membiarkan tesis ini menumpuk saja di gedung Fakultas.

Bab pertama merupakan bab paling tipis, hanya 4 halaman. Bab ini diberi tajuk “Dunia Kita”. Penulis menjelaskan tentang tiga persoalan yang dihadapi dalam masyarakat Indonesia yang bersifat multikultur: (1) Prasangka, (2) Kesalahpahaman, dan (3) Konflik dan Kekerasan. Dalam bab ini juga penulis menyampaikan suatu solusi berupa …dialog dan toleransi. Menurut saya ini bukan ide yang baru dan sudah sering sekali dibahas oleh berbagai tokoh agama. Perbedaannya, di sini penulis memberikan penjelasan panjang lebar mengenai apa itu dialog dalam 3 bab yang cukup panjang.

Bab kedua buku ini diberi tajuk “Keterbatasan Manusia dan Dialog”. Banyak pemikiran filsuf bernama Hans-Georg Gadamer yang dijelaskan dalam bab ini. Inti pemikirannya adalah bahwa setiap manusia dilahirkan tanpa bisa memilih tradisi lingkungannya, sehingga mau tidak mau setiap manusia dipengaruhi oleh tradisi tersebut dalam hidupnya. Karena setiap lingkungan memiliki tradisi dan kebudayaan yang berbeda-beda, maka manusia perlu menyadari keterbatasannya karena pada dasarnya manusia tidak dapat mendapatkan suatu kebenaran yang benar-benar objektif karena pengaruh tradisi yang dimilikinya.

Di bab tiga, penulis memberikan penjelasan tentang pemikiran Gadamer mengenai dialog antarbudaya. Pada bagian awal, diberikan suatu penjelasan kembali mengenai definisi dialog antarbudaya. Dialog ini dapat terjadi antara orang dan orang, tapi dapat juga terjadi antara orang dan teks kebudayaan lain. Definisi ini cukup berarti, karena itu artinya seseorang dapat melakukan dialog antarbudaya tanpa harus selalu berhadapan dengan orang lain. Di bagian akhir, penulis menjelaskan hal-hal yang menjadi penyebab mengapa suatu dialog tidak mengantarkan partisipannya menuju suatu kebenaran. Pada dasarnya, dialog sejati baru terwujud saat partisipan tidak berusaha untuk sekadar mempertahankan pendapatnya, tetapi juga saat seluruh partisipan memiliki keterbukaan untuk menerima pengetahuan baru dan juga terbuka dalam memberikan respons.

Judul bab 4 adalah “Dialog Antaragama”. Bab ini menjelaskan dialog antaragama dapat terbagi ke dalam 4 model (menurut Paul Knitter): Model Penggantian (Replacement Model – menyatukan keberagaman yang ada dalam satu ikatan yang baru), Model Pemenuhan (Fulfillment Model – memandang agama yang dianut sebagai kepercayaan yang memiliki kesempatan lebih baik dalam mencapai keselamatan), Model Mutualitas (Mutuality Model – berusaha memahami pandangan orang lain agar sama-sama memiliki cakrawala pemikiran yang lebih luas), dan Model Penerimaan (Acceptance Model – Perbedaan dalam keberagaman merupakan sebuah fakta yang harus diterima kenyataannya, jangan dipaksakan untuk jadi satu).

Bab terakhir, sebagai bab penutup, berisi tentang rangkuman konsep pemikiran Gadamer. Ada pembahasan tentang persyaratan agar dialog sejati dapat tercapai, dan ada juga pembahasan mengenai kasus di Maluku yang ditinjau dari empat model yang dijelaskan dalam bab sebelumnya. Pembahasan kasus di Maluku cukup menarik, kalau buku ini diterbitkan ulang, mungkin perlu diberikan contoh juga mengenai kasus-kasus kekerasan agama yang semakin marak di Indonesia (kasus Muhammadiyah, Syiah, dan sebagainya).

Sebagai sebuah buku filsafat berukuran kecil, menurut saya ini merupakan buku yang layak untuk dibaca. Namun saya tidak menyarankan anda untuk membelinya… lebih baik pinjam saja dulu. Kalau gaya penjelasannya coocok dengan anda, baru beli deh 😀

View all my reviews

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s