Ateisme, Agama, dan Psikologi | Bagian I: Psikoanalisa Klasik

Sigmund Freud, founder of psychoanalysis, smok...
Sigmund Freud

“Religion is an illusion and it derives its strength from its
readiness to fit in with our instinctual wishful impulses.”

Sigmund Freud

Beberapa waktu yang lalu, saya menemukan sebuah file penelitian (.pdf) di internet, hasil karya RS, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas G. Penelitiannya berjudul “Gambaran Makna Hidup Pada Penganut Ateis“. Saya agak merasa janggal saat membaca judulnya. Ateis mengacu pada subjek manusianya, bukan ideologinya. Itu sama saja dengan menulis “Penganut Muslim. Ini kesalahan kecil saja, tapi cukup mengganggu saya.

Saat saya melanjutkan membaca, saya terkejut saat membaca metodologinya. Subjek penelitiannya hanya 1 orang. Emangnya ateis di Indonesia sedikit banget ya? Setahu saya ada cukup banyak. Tentu saja tidak sebanyak agama mayoritas seperti Islam atau Kristen. Artikel di situs FaktaIlmiah.com bahkan mengadakan bahwa 1,5% penduduk Indonesia ateis (tentu saja metode samplingnya juga mungkin kurang tepat, tapi setidaknya ini berarti bahwa ateis itu gak langka-langka amat).

Anda tentu tahu ‘semboyan suci’ psikologi: “Setiap manusia itu unik dan memiliki kekhasannya masing-masing”. Penulis penelitian tersebut, RS, nampaknya mengabaikan semboyan tersebut karena menganggap dengan meneliti 1 orang ateis, dia sudah memperoleh pemahaman makna hidup yang dimiliki oleh ateis secara general. Masa siiiiih?

Selain itu, metodenya (ditulisnya sih kualitatif) kurang jelas karena RS hanya menuliskan bahwa dia akan menggunakan wawancara. Sayang, dalam artikel itu tidak dituliskan pertanyaan macam apa yang diajukan dan apa saja jawaban subjek yang memberikan indikasi tertentu. Padahal dalam metode kualitatif ada teknik coding yang dapat memberikan pemahaman yang lebih baik dibandingkan dengan hanya menggunakan wawancara biasa.

Viktor Frankl

“What is to give light must endure burning.”
– Viktor Frankl

Teori utama yang digunakan oleh peneliti adalah “Makna Hidup” dari Viktor Frankl. Saya pernah membuat tulisan singkat tentang tokoh psikologi ini di blog ini. Penelitian yang menggunakan teori ini sifatnya sangat kualitatif, sehingga tentu saja saya merasa kecewa saat mendapatkan bahwa peneliti tidak menjelaskan jawaban seperti apa yang membuatnya menyimpulkan bahwa subjek penelitiannya sedang mengalami tahapan tertentu dalam proses pencarian makna hidupnya. Pokoknya tau-tau sudah disimpulkan saja bahwa subjek mengalami ini-ini-dan-ini.

Kekecewaan lain ada di bagian akhir penelitian ini, yaitu di bagian Saran. Peneliti (RS) menuliskan bahwa “penganut ateisme perlu dikembalikan pada tuntunan hidup yang benar”. Jadi maksudnya… apa? Tidak beragama itu salah? Kok judgmental sekali sih? Padahal saya berkali-kali diajarkan bahwa sebagai orang psikologi, kita harus menahan diri untuk tidak memberikan judgment kepada orang lain. Apalagi faktanya adalah kita tidak akan pernah bisa memahami orang lain sepenuhnya. Mudah-mudahan saja yang dimaksud dengan “tuntunan hidup yang benar” itu bukan agamanya si RS itu sendiri.

Nah, apa sih yang membuat saya menulis ulasan singkat tentang ateisme? Tanggal 20-26 Maret 2011 adalah Atheism Week 2011. Selama seminggu, orang-orang (belum tentu semuanya ateis) akan berusaha untuk meningkatkan awareness orang-orang di sekitarnya mengenai ateisme. Hal ini dirasa perlu untuk dilakukan karena terlalu besarnya stigma negatif yang menempel pada label ateis. Apalagi di Indonesia, yang makin ke sini rasanya makin dibuat terbelakang oleh pemikiran agama yang fundamentalis. Selain itu, pemerintahan Orde Baru di Indonesia juga memperparah stigma tersebut dengan mengkaitkan tidak beragama dengan komunis dan PKI. Padahal kaitannya tidak seperti itu juga kan?

Sebagai mahasiswa psikologi yang masih cupu, jujur saja, pengetahuan saya tidak terlalu luas. Oleh karena itu, saya akan membuat pembahasan singkat dari perspektif psikologi saja. Tentu saja penjelasan tentang ateisme dari perspektif ilmu lain juga ada, dan mungkin pembahasannya juga lebih kaya. Feel free to add to the discussion. Ringkasnya, psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia (human behavior). Jadi, yang menjadi pembahasan dalam ilmu psikologi adalah perilaku manusia.

Saya sedikit kecewa dengan beberapa peneliti dan dosen psikologi di Indonesia yang “memelintir” psikologi menjadi sebuah alat untuk mencari pembenaran atas agama yang dia anut. Tidak sedikit penelitian yang menjelaskan “manfaat” agama terhadap kondisi psikis seseorang. Tidak lupa peneliti dan dosen tersebut mengutip ayat-ayat yang mendukung “penemuannya”. Ada pesan implisit  “AGAMA GUE BAGUS LOOOOH”. Padahal fokus ilmu psikologi adalah menjelaskan “kenapa sih orang bertindak seperti itu?”. Iya kan? Sudah lah, saat ini saya berusaha memaklumi saja dulu. Mudah-mudahan di masa depan, saya bisa mengubah kondisi ini.

Saya ingin memulai dengan pandangan salah satu tokoh psikologi terhadap agama, yaitu Sigmund Freud. Saya menemukan sebuah postingan blog yang meringkas pemikiran Freud (pendiri Psikoanalisa) mengenai agama dengan cukup sederhana sehingga mudah dipahami. Berikut adalah tulisannya:

Menurut Freud, pada waktu kecil anak mengidolakan ayahnya sebagai pelindung dan pemelihara. Ketika anak berada dalam posisi lemah tak berdaya, ia mendapatkan ketentraman dengan bergantung pada ayahnya. Walaupun kita takut pada ayah, kita tetap saja bersandar pada perlindungan dan pemeliharaannya. Bagi setiap anak, ayah adalah Tuhan.

Setelah dewasa, ketika manusia berhadapan dengan kekuatan alam yang perkasa, merasa tak berdaya, lemah, ia membayangkan kembali ayahnya pada masa kecil dahulu. Lalu, ia mengkhayal, berilusi, tentang Tuhan yang seperti ayahnya. Untuk memenuhi kebutuhan akan perlindungan seorang ayah, manusia menciptakan sosok Tuhan. Manusia diciptakan tidak berdasarkan citra Tuhan, tetapi Tuhan diciptakan berdasarkan citra manusia.

Oleh karenanya, semua gagasan agama itu, dalam pandangan Freud merupakan produk imajinasi yang memberikan rasa lega luar biasa dari ketegangan.

Sumber: Tulas-Tulis

Meskipun pemikiran Freud dianggap menarik dan kontroversial, banyak yang menganggap bahwa pemikirannya sudah usang. Banyak juga yang mempertanyakan keilmiahan psikoanalisa karena… bagaimana cara membuktikannya secara empiris? Psikoanalisa ini tidak memiliki “falsiliabilitas” keilmuan. Maksudnya, tidak bisa dibuktikan bahwa itu salah. Oleh karena itu, psikoanalisa dianggap sebagai sesuatu yang kurang ilmiah. Karena psikoanalisa membicarakan alam bawah sadar, tentu saja sulit untuk mengukurnya dengan instrumen pengukuran yang biasa digunakan…

Cover The Future of an Illusion

Freud juga menulis buku berjudul “The Future on an Illusion“, yang berisi pandangannya tentang agama. Covernya bisa dilihat di sebelah kiri. Iya, “ilusi” yang dimaksud pada judul buku tersebut adalah agama. Menurut Freud, perilaku religius serupa dengan neurosis.

Religion and neurosis are similar products of the human mind: neurosis, with its compulsive behavior, is “an individual religiosity”, and religion, with its repetitive rituals, is a “universal obsessional neurosis.”

Dalam buku tersebut, Freud mengatakan bahwa agama merupakan bentuk pertahanan diri yang diciptakan oleh manusia untuk bertahan terhadap daya alam semesta yang jauh lebih superior. Dia menyimpulkan bahwa semua kepercayaan agama merupakan ilusi dan tidak memberikan suatu  bukti.

Nah, demikianlah tulisan singkat saya mengenai ateisme, agama, dan psikologi. Di tulisan ini, saya baru menuliskan pandangan tokoh psikologi terhadap agama, tapi saya belum menuliskan pandangan mereka terhadap orang-orang ateis. Kita simpan itu untuk postingan berikutnya karena tulisan ini sudah lebih dari 1000 kata 😛

In his estimation, religion provides for defense against “the crushingly superior force of nature” and “the urge to rectify the shortcomings of civilization which made themselves painfully felt”[8] He concludes that all religious beliefs are “illusions and insusceptible of proof.”
Iklan

3 tanggapan untuk “Ateisme, Agama, dan Psikologi | Bagian I: Psikoanalisa Klasik

  1. tidak adakah ilmu yang membahas tentang psikoanalisa?
    sepertinya menarik, manusia itu selau digerakan oleh alam bawah sadar untuk mencari sisi nyaman..

    Saya setuju dengan pendapat Freud

  2. Peninggalan balasan untuk mahasiswa psikologi.

    Pertama: tidak satupun ilmu yang bebas nilai. tulisan ini pun dibuat karena agus menilai (judging) tulisan RS berdasarkan nilai-nilai yang semetara ini agus anut. Sementara, Freud sendiri bukan hanya judgemental sekali terhadap agama, tapi bisa disebut menyerang agama, literally, berdasarkan keyakinan yang dia anut dan persepsinya terhadap agama.

    Kedua: Apa yang disebut freud sebagai defence mechanism, kebanyakan, dalam bahasa yang lebih tradisional disebut sebagai behaviour buruk manusia.

    Ketiga: tentang ilusi, orang mengatakan bahwa sulap yang dilakukan crist angel itu ilusi, tapi ada bukti yang terlihat oleh mata kita. feud mengatakan agama itu ilusi, tapi dia ada dan dipelajari oleh freud, walaupun tak terlihat oleh mata. jadi apa yang dimaksud freud sebagai “ilusi”.

    terakhir: tentang ‘semboyan suci’ psikologi: “Setiap manusia itu unik dan memiliki kekhasannya masing-masing”. Young, dengan kekhasan keyakinan kristianinya menentang persepsi atheis freud. Adler tak ingin terlibat polemik keyakinan dalam membahas individu. Maslow menarik psikologi menjauhi individu. pertanyaan anda sebagai mahasiswa psikologi ingin psikologi indonesia seperti apa?

  3. Psikologi memiliki semboyan ”man mistery” dan lagi “Setiap manusia itu unik dan memiliki kekhasannya masing-masing”. namun kemudian sigmun freud berkata NEUROSIS thd org yg beragama. yg jd pertanyaan saya, Jika Sigmun Freud dimasa hidupnya adl org yg beragama atau paling tidak pernah beragama, Apakah ia tetap akan mengatakan Neurosis Kolektif thd org2 beragama?

    (Mhs Psikologi- status yg melekat pd sy sebagai manusia saat ini)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s