Perjalanan Singkat ke Desa Sukasenang, Garut

Kemarin ini saya mengikuti salah satu acara yang diadakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, yaitu program Desa Binaan. Setelah pulang (lebih awal) dari program tersebut, saya terdorong untuk membuat sedikit catatan tertulis mengenai pengalaman yang saya alami.

Sebenarnya, saya bukan merupakan peserta program tersebut dalam arti sesungguhnya. Saya adalah peneliti yang ikut dalam kegiatan tersebut dan melakukan penelitian dengan harapan bahwa hasil penelitian saya memiliki kegunaan praktis yang dapat digunakan untuk membantu pengembangan desa dan program Pengabdian Masyarakat Senat Mahasiswa Fakultas Psikologi. Selain itu, saya juga ikut program tersebut untuk sedikit refreshing karena merasa bosan dengan suasana kota Bandung yang (menurut persepsi saya) sempit.

Program tersebut berlangsung dari tanggal 21 Januari 2011 hingga 24 Januari 2011. Akan tetapi, saya cuma bisa ikut serta selama 2 hari saja, sampai tanggal 22 Januari 2011 karena pada hari Minggu saya harus menghadiri upacara sembahyang keluarga besar. Selain itu, rekan-rekan yang ikut membantu saya melakukan penelitian pun memiliki kesibukan lain sehingga tidak dapat mengikuti kegiatan sampai selesai.

Hari pertama (Jumat, 21 Januari 2011)

Di hari pertama ini, persiapan awal yang saya lakukan adalah mempersiapkan supir dan mengisi mobil (pinjam dari saudara) Innova sampai full tank. Saya pakai supir karena kondisi saya sedang tidak fit. Takutnya nanti konsentrasi dan kesadaran menurun, trus mobilnya masuk jurang. Kalau sampai begitu, bisa-bisa batal deh jadi mahasiswa lulusan terbaik dan malah namanya dipajang di Papan Pengumuman Tata Usaha karena mati.

Ada 3 rombongan yang pergi di hari Jumat ini. Mobil saya, mobil Wisnu (’09) (berisi perlengkapan kegiatan dan panitia inti), serta bus peserta. Saya dan Wisnu pergi duluan. Bukan karena malas menunggu dan ga sabaran, tapi karena pada dasarnya ada hal-hal yang harus kami urus terlebih dahulu. Dosen pembimbing kegiatan ini, ibu Jacqueline, naik mobil saya. Soalnya di mobil saya gak ada yang tau jalan ke Desa Sukasenang.

Sebelum pergi ke Desa Sukasenang, ibu Jacq mampir dan membawa kami ke rumah ibu camat di sana, ibu Yayat. Beliau adalah seorang perempuan berusia 46 tahun, mengenakan jilbab hitam, dan memakai pakaian berwarna merah. Orangnya energetis, ramah, banyak senyum dan tertawa.

Saat kami masuk ke rumahnya, kami dijamu dengan makanan produksi lokal (enak!) dan mengobrol sejenak sambil membahas kegiatan yang akan dilakukan beberapa hari ke depan. Beliau juga memperkenalkan kami dengan anaknya yang ternyata kuliah di Bandung, yaitu di Universitas Pasundan. Kebetulan saat itu sedang liburan semester, jadi anaknya sedang ada di rumah. Saat kami pamit, ibu Yayat membekali kami dengan Pisang Sale. Ini juga enak!

Soalnya gratis.

Nah, setelah itu, kami pergi ke Desa Sukasenang. Di sana, panitia sudah melakukan persiapan dengan baik, namun ternyata Kepala Desa sedang menemani istrinya yang melahirkan anaknya pada hari yang sama dengan hari kedatangan kami. Jadinya dia nggak menyambut kami secara langsung, tapi diwakilkan.

Masalahnya, ternyata dia benar-benar nggak menyambut kami. Maksudnya dia belum mempersiapkan apa-apa untuk kegiatan yang akan berlangsung selama beberapa hari ke depan. Waw. Pengurus Desa pun baru menyusun pembagian rumah pada saat itu juga. Akibatnya, dari jam 7 sampai hampir jam 10 malam saya hanya nongkrong di Balai Desa. Padahal saya betul-betul nggak suka menunggu dan mengantri. Buktinya: saya sering nyerobot antrian.

Setelah menunggu lama, akhirnya saya kebagian rumah juga. Tapi gak ada kendaraan dari desa yang bisa mengantarkan. Jadinya saya harus jalan kaki. Baru saja saya keluar sedikit dari Balai Desa… eh, taunya saya jatuh ke dalam kali! Parah! Habisnya gelap banget sih. Dan saya bego juga, udah tau gelap kenapa gak nyalain senter, gitu. Kaki saya sampai berdarah dan sakit kalau dipake berjalan. Tapi tetap saja saya paksakan berjalan ke rumah penduduk yang sudah ditentukan.

Ternyata, 1 rumah isinya 12 orang. Ditambah dengan 3 penduduk setempat. Jadi ada 15 orang dalam 1 rumah. Dan cuma dikasih 2 kamar. Mampus! Saya sih nggak betah tidur bersempit-sempit seperti itu, jadi saya turun (kamar yg disediakan ada di lantai 2) dan pergi membeli Mie (kebetulan rumah itu merangkap warung).

Teman saya, Filemon, nampaknya juga sedang lapar dan kedinginan, jadi dia juga membeli Mie dan makan bersama saya. Beneran lo, Indomie itu rasanya dimana-mana tetep sama: enak! Setelah ngobrol sampai jam 1 pagi, saya dan Filemon akhirnya tertidur di lantai 1. Saya di sofa, dia di lantai (s0fanya gak muat).

Masalah pembagian rumah ini nampaknya cukup fatal juga. Teman-teman yang membantu saya dalam penelitian ini hampir nggak kebagian rumah dan tadinya mereka sudah berpikiran untuk numpang tidur di dalam mobil saya. Tapi, (untungnya!) mereka kebagian jatah tinggal di rumah bu Lurah. Saya nggak bisa membayangkan deh panitia yang sudah capek-capek mempersiapkan kegiatan ini harus lebih capek dan panik lagi karena kejadian tidak terduga ini.

Hari Kedua (Sabtu, 22 Januari 2011)

Saya sudah bangun dari jam setengah 6. Biasa lah, mahasiswa rajin itu gak betah bangun siang. Apalagi kalau tidur di sofa, haha…

Wisnu juga sudah bangun karena dia harus mempersiapkan perlengkapan untuk kegiatan Desa Binaan hari itu. Satu per satu, teman-teman yang tinggal serumah pun bangun dan… antri untuk mandi. Kamar mandinya cuma satu, tapi orangnya 12. Jadi antrinya lama banget. Saya sih memilih untuk nggak mandi aja. Bukannya jorok, tapi karena siang ini saya akan langsung pulang ke Bandung, jadi gak bakal bau-bau amat.

Setelah selesai makan pagi dengan Nasi Goreng dan Gorengan (entah apa, tapi rasanya enak. saya jalan kaki ke sekolah tempat diadakannya seminar untuk anak-anak di SMP sana. Rasanya saya sedikit rindu dengan suasana sekolah SMP-SMA. Ternyata saya sudah tua ya? 😦

Sementara panitia bersiap-siap untuk melaksanakan acaranya, saya bertemu dengan rombongan peneliti dan mulai bergerak secara terpisah ke seluruh penjuru desa untuk mencari responden yang mau mengisi kuesioner kami. Jam 11, rombongan Senat Mahasiswa dari Bandung datang untuk ikut melakukan kunjungan ke sekolah.

Setelah rombongan peneliti memperoleh cukup banyak responden, kami pun kembali berkumpul di sekolah dan memutuskan untuk pulang. Sama seperti sebelumnya, saat saya melakukan survei, kami mampir dulu ke Chocodot (tempat jualan dodol coklat yang sebenarnya sudah buka cabang di Paris van Java).

Nah, segitu saja deskripsi kegiatan ke Desa Sukasenang kemarin. Rasanya saya jadi jauh lebih menghargai bagaimana rasanya hidup di kota. Semuanya serba enak, serba cepat, serba praktis.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s